Sabtu, 12 April 2014

Pendidikan itu Mendidik, Bukan Untuk Membunuh

Fenomena pendidikan saat ini, telah memberi luka bagi anak-anak didik terutama untuk anak sekolah dasar, kerap kali bagaikan penjara yang membelenggu kreatifitas anak, tidak hanya itu suasana kelas yang dingin, kaku, tidak menyenangkan menambah penderitaan untuk mereka, hingga terkadang label “kuburan” pantas untuk disandang, seperti itulah kondisi kelas yang sering kali ditemui di sekolah. Selain dari itu, penggunaan bahasa yang kasar menjadi senjata bagi guru untuk membuat anak-anak menjadi tertib atau membuat mereka agar belajar sesuai dengan keinginan guru tersebut, seperti “kamu ini bodoh ya? Begini saja gak bisa, coba dibaca!!!!”. Kalimat-kalimat seperti ini mungkin pernah didengar, tidak hanya guru bahkan orang tua pun juga pernah mengatakan kalimat seperti itu. Jika dipikirkan apa yang terjadi dengan anak-anak yang mendapatkan perlakuan seperti itu? Sering kali, anak-anak hanya merespon dengan ekspresi kediaman mereka, akan tetapi bagaimana dengan perkembangan psikologi mereka? Pernahkah kita memikirkan, apa yang dirasakan anak-anak ketika telinga yang seharusnya mendengar hal yang baik, tetapi yang diterima adalah perkataan-perkataan kasar bahkan ada juga yang memberikan tindakan kasar seperti mencubit atau memukul. Beginilah potret pendidikan yang terjadi di negara kita ini. Sungguh sangat menyedihkan jika seorang guru hanya mengajar saja yang notabennya sekedar mengtransfer ilmu, tanpa memikirkan perkembangan psikologi anak terhadap perilaku-perilaku yang diterima oleh anak.
Dalam teori psikologi perkembangan anak dari piaget yang menyatakan “belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi akibat adanya pengalaman dan sifatnya relative tetap”. Hal ini menunjukkan bahwa seorang anak dikatakan belajar, jika di dalam dirinya mengalami perubahan tingkah laku, yang mana perubahan tersebut diperoleh dari pengalaman yang pernah diterima oleh anak dan juga perubahan tersebut akan bersifat tetap jika anak mendapatkan pembelajarannya dari hal yang pernah dialaminya sendiri. Dengan demikian, anak akan menerima suatu pembelajaran jika pembelajaran tersebut bersifat konkrit atau nyata, berarti titik tumpu keberhasilan sebuah pembelajaran adalah peran seorang pendidik, salah satunya adalah guru. Guru adalah cerminan dari anak didiknya, guru adalah tauladan bagi anak didiknya dan guru adalah model bagi anak didiknya. Maka dari itu, apa yang dilakukan guru, hal itulah yang dilakukan oleh anak didiknya. 
Selain dari itu, menurut Piaget mengenai terjadinya proses belajar didasari atas 4 konsep dasar, yaitu skema, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan. Skema adalah pengalaman khas yang diterima anak berupa stimulus dari benda sekitarnya, peristiwa ataupun gagasan yang telah dimiliki sebelumnya, yang selanjutnya anak akan mengasimilasikannya dengan cara menyesuaikan stimulus yang ada di dalam pikiran anak dengan stimulus yang baru diperolehnya dari lingkungan. Kemudian, jika hal itu sesuai dengan apa yang dipikirkannya maka anak akan mengakomodasikannya yang nantinya akan membentuk keseimbangan dan akhirnya terjadilah perubahan tingkah laku pada anak.
Akan tetapi, apa yang terjadi, jika stimulus yang baru diperoleh anak tersebut tidak sesuai dengan pemikiran anak??? Pastinya akan terjadi semacam gangguan mental atau ketidakpuasan mental seperti kekesalan, kemarahan, dan bahkan kebencian. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam proses belajar, sehingga anak didik kerap kali lebih memilih untuk melepaskan diri dari proses belajar, mengabaikan stimulus, menyerah dan tidak berbuat apa-apa bahkan lebih parah lagi memutuskan untuk tidak ingin pergi ke sekolah, secara tidak langsung proses belajar seperti ini merupakan salah satu cara dalam membunuh karakter anak yaitu hilangnya kepercayaan diri, motivasi yang rendah dan kurangnya minat siswa dalam belajar. Sehingga pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri jika hasil belajar yang diperoleh anak didik adalah rendah.
Kadang kala, pemikiran saat ini yang terjadi di lingkungan sekolah atau masyarakat menyatakan bahwa rendahnya hasil belajar anak didik diakibatkan karena kesalahan anak didik itu sendiri yaitu tidak memperhatikan guru, malas belajar ataupun alasan lain yang menyatakan anak didiklah yang salah. Namun, jika diperhatikan sepenuhnya bukanlah datang dari kesalahan anak didik, banyak faktor lain yang menyebabkan hal itu terjadi, bisa datang dari sekolah atau dari keluarga yang notabennya memiliki pengaruh besar dalam meningkatkan hasil belajar anak didik. Mungkin hal ini sering kali disepelekan karena terkadang pemikiran orang dewasa itulah yang paling benar, sehingga sering kali langsung "mengjudge" perilaku anak didik yang salah tanpa mendengarkan penjelasan mereka terlebih dahulu. Jikapun anak didik melakukan kesalahan, hal yang dapat dilakukan adalah memberikan penjelasan kepada mereka secara rinci dengan  tidak menjudge kesalahan yang telah mereka lakukan, sehingga anak didik bisa menerimanya dengan lapang dada tanpa memberontak atau menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan. Dengan demikian pendidikan itu tidak hanya mengajar, melainkan bagaimana mendidik anak agar tidak membunuh karakternya, melainkan dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki anak sehingga dapat bersaing di era globalisasi saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar