"Disleksia", adalah kata yang jarang sekali
terdengar di kalangan masyarakat umum. Kata ini digunakan untuk anak-anak yang belum
mampu belajar dalam aktivitas membaca dan menulis dikarenakan adanya kesulitan
yang mereka hadapi. Kerap kali yang terjadi di sekolah, anak-anak seperti itu
dianggab "bodoh", hingga tidak jarang pilihan yang harus mereka
terima adalah "tidak naik kelas".
Kerlina adalah sesosok anak perempuan yang manis, perawakannya
cukup tinggi, warna kulitnya sawo matang dan rambutnya hitam lurus memanjang.. Kini
umurnya 14 tahun, seusia dengan anak yang duduk di kelas VIII SMP. Namun pada
kenyataannya, ia sekarang masih duduk di bangku kelas V SD. Begitulah kondisi
yang dihadapi Kerlina, ia sudah 3 kali tidak naik kelas dikarenakan tidak bisa
membaca. Anak yang biasa dipanggil Elin oleh orang-orang sekitarnya, itu selalu
tampil periang, meski sering kali diperolok-olok oleh teman-teman sekelasnya
karena kondisinya yang belum bisa membaca. Akan tetapi, hal itu tidak pernah
membuatnya menyerah untuk tetap sekolah. Ia tetap bertahan diantara kekurangan
yang ada pada dirinya, walaupun tidak bisa dipungkiri anak seusia itu pasti
akan merasa minder terhadap lingkungannya. Namun karena semangatnya yang tinggi
tak pernah menghentikan langkahnya sedikitpun.
Pertama kali ku melihatnya, ketika mengajar di kelas V materi cara
membaca puisi. Saat itu, aku membagi siswa menjadi 8 kelompok. Namun, tiba-tiba
ada beberapa siswa yang menyeletuk “ibu, kami tidak mau berkelompok dengan
Kerlina. Dia tidak bisa membaca, gimana dengan kelompok kami, Bu?”. Mendengar itu,
aku sungguh kaget, “udah kelas V belum bisa membaca, kok bisa?”, gumam saya
dalam hati. Mataku langsung tertuju pada sesosok anak yang dipanggil Kerlina,
tak lama dari itu aku mendekatinya sambil memikirkan apa yang harus kulakukan
terhadap celetuk teman sekelompoknya. Saat itu, wajahnya hanya tertunduk saja,
seperti sedang menahan malu yang luar biasa. Kupandang lekat-lekat Kerlina dan
teman sekelompoknya, “nah, makanya dibuat kelompok agar kalian bisa ngajari
Kerlina, ok”, jawabku sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan mereka.
Itu pertama kalinya aku mengenal Kerlina. Hal yang kupikirkan
tentangnya mungkinkah Kerlina menderita disleksia, hingga suatu hari aku memintanya
untuk membaca tulisan yang telah kubuat, ternyata Kerlina menunjukkan
gejala-gejala anak yang mengalami disleksia, yaitu Kerlina belum bisa
membedakan huruf “M” dengan “N”, kemudian huruf “T” dengan “W”. Selain itu dari
segi pengucapan huruf, ia belum bisa membedakan huruf “F” dengan “P” dan juga
“V”. Kemudian, ketika diminta membaca satu kata dengan cara mengeja, ia
membacanya mulai dari ejaan paling belakang, sehingga kerap kali kata yang
tertulis berbeda dengan kata yang ia baca, terkadang juga menambah huruf-huruf
yang seharusnya tidak ada menjadi ada atau mengurangi huruf-huruf yang
seharusnya ada menjadi tidak ada dan hal itu pun berdampak pada tulisannya.
Mungkin kejadian ini merupakan hal yang biasa saja karena gejala
seperti itu dianggab ciri-ciri dari anak yang bodoh atau anak yang malas
belajar. Akan tetapi bagiku, itu adalah hal yang tidak berlaku untuk Kerlina
karena Kerlina bukanlah sosok anak yang seperti itu, ia hanya mengalami
kesulitan ketika mengelola informasi yang hendak dibaca ataupun didengar
sehingga menyebabkan proses pembelajarannya tidak sempurna, apa yang ditanyakan
tidak sesuai dengan apa yang dijawab, terkadang jikapun mengerti dengan
pertanyaan itu dan mengetahui jawabannya, ia hanya bisa membuat jawaban itu
berada di alam pikirannya dan ketika hendak menuliskannya, ia sulit untuk
menyusun satu per satu huruf yang harus digunakan dan pada akhirnya, Kerlina selalu
mendapatkan nilai paling kecil diantara teman-temannya.
Namun, hal itu tidak membuatku
menyerah. Aku berusaha memberikan les tambahan kepadanya sepulang sekolah. Meski,
waktu yang kupunya hanya 2 bulan, ternyata aku belum mampu sepenuhnya membuat Kerlina
membaca dikarenakan waktu yang sedikit itu tidak cukup untuk mengajarinya membaca.
Namun, selama kami belajar bersama, Kerlina sudah mampu menyelesaikan satu indikator
yaitu membedakan huruf, tinggal bagaimana cara menyusun dan membaca kalimat. Hal
itu sungguh membuatku bahagia. Akan tetapi, ada hal yang lebih luar biasa yang
dimiliki oleh Kerlina, sesuatu yang belum tentu anak lain bisa melakukan
seperti apa yang Kerlina lakukan. Saat itu, ketika pembelajaran matematika
mengenai sifat-sifat kubus, siswa mendapat tugas dariku untuk membuat kubus
dengan menggunakan origami, yang mana posisiku adalah pengarah atau pemberi petunjuk
cara membuat kubus tersebut. Semua siswa mengikuti petunjukku, akan tetapi
ketika merangkai origami menjadi kubus, siswa mengalami kesulitan sehingga
beberapa kali aku harus mengulangnya dan mengajari mereka satu per satu. Namun, diantara semua siswa tersebut, Kerlinalah
yang tidak sama sekali meminta bantuanku untuk mengajarinya. Ia hanya sesekali
maju ke depan dan memperhatikan aktivitas yang dilakukan olehku. Kemudian,
dengan sigapnya, Kerlina menunjukkan hasil buatannya kepadaku, ternyata kubus
yang dia buat berbeda bentuk dengan kubus buatanku. Hal itu membuat aku menjadi
kaget dan takjub, “anak ini kreatif”, gumamku sambil tersenyum. Namun, karena
Kerlina merasa bentuk kubusnya berbeda dari teman-temannya yang lain, ia pun dengan
cepat merangkainya kembali menjadi bentuk kubus yang sama dengan teman-temannya.
Tidak hanya itu, Kerlina juga cepat menangkap jika diajari membuat kreatifitas,
salah satunya membuat bunga dari plastik, bunga dari kertas kreb, hanya dengan
melihat saja contohnya ia telah mampu membuatnya sendiri dan bahkan mengajari
teman-temannya yang lain.
Dari semua karya yang dibuat
Kerlina, ada satu karya yang membuatku sangat terharu. Saat itu, ketika kami
belajar bersama, Kerlina izin sebentar untuk mengambil sesuatu di kamarnya. Dengan
langkahnya yang pelan, sambil tangannya di belakang, tiba-tiba dia mendekatiku
dan berkata “Ini untuk ibu” sambil memberikan sebuah benda yang unik. Melihat itu,
ada perasaan haru yang menyelimutiku, ingin sekali aku menangis, tetapi air
mata itu tertahankan di ujung pelupuk mataku. Aku hanya bisa terdiam dan
memandang benda yang tepat berada di depan mataku….ya benda berwarna pink
dengan wajah menyerupai kucing telah menghipnotisku sesaat, bukan karena bagaimana
bentuk benda itu, tetapi makna dibalik benda itu telah mengingatkanku dengan
masa kecilku, sebuah tabungan yang didesign sendiri dengan wajah kucing, telah
membuat hariku saat itu semakin berwarna dan perlahan aku mengatakan “terimakasih
ya, ini sangat bagus sekali” ungkapku sambil tersenyum kepada Kerlina.
Jika dipikirkan, bukannya setiap anak itu special? Meski mereka belum
mampu secara akademik, ternyata mereka mampu mengeksplor kecerdasan lainnya
dalam bentuk karya salah satu contohnya adalah Kerlina. Dilihat dari kecerdasan
kognitif, Kerlina belum mencapai kompetensi belajar yaitu membaca. Namun jika
dilihat dari kecerdasan Psikomotorik, Kerlina telah mencapainya, ia mampu
mengeksplorasi setiap ide kreatif yang ia miliki dan mengaplikasikannya melalui
hasil karya yang telah ia buat. Bukankah, hal itu luar biasa???? Setiap anak
memiliki kecerdasan masing-masing, tinggal bagaimana peran lingkungannya dalam
mengembangkan setiap kecerdasan tersebut.
Gambar di bawah ini merupakan hasil karya Kerlina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar