Sabtu, 05 April 2014

Kerlina, Anak Kreatif Penderita Disleksia

    "Disleksia", adalah kata yang jarang sekali terdengar di kalangan masyarakat umum. Kata ini digunakan untuk anak-anak yang belum mampu belajar dalam aktivitas membaca dan menulis dikarenakan adanya kesulitan yang mereka hadapi. Kerap kali yang terjadi di sekolah, anak-anak seperti itu dianggab "bodoh", hingga tidak jarang pilihan yang harus mereka terima adalah "tidak naik kelas". 



Kerlina adalah sesosok anak perempuan yang manis, perawakannya cukup tinggi, warna kulitnya sawo matang dan rambutnya hitam lurus memanjang.. Kini umurnya 14 tahun, seusia dengan anak yang duduk di kelas VIII SMP. Namun pada kenyataannya, ia sekarang masih duduk di bangku kelas V SD. Begitulah kondisi yang dihadapi Kerlina, ia sudah 3 kali tidak naik kelas dikarenakan tidak bisa membaca. Anak yang biasa dipanggil Elin oleh orang-orang sekitarnya, itu selalu tampil periang, meski sering kali diperolok-olok oleh teman-teman sekelasnya karena kondisinya yang belum bisa membaca. Akan tetapi, hal itu tidak pernah membuatnya menyerah untuk tetap sekolah. Ia tetap bertahan diantara kekurangan yang ada pada dirinya, walaupun tidak bisa dipungkiri anak seusia itu pasti akan merasa minder terhadap lingkungannya. Namun karena semangatnya yang tinggi tak pernah menghentikan langkahnya sedikitpun.
Pertama kali ku melihatnya, ketika mengajar di kelas V materi cara membaca puisi. Saat itu, aku membagi siswa menjadi 8 kelompok. Namun, tiba-tiba ada beberapa siswa yang menyeletuk “ibu, kami tidak mau berkelompok dengan Kerlina. Dia tidak bisa membaca, gimana dengan kelompok kami, Bu?”. Mendengar itu, aku sungguh kaget, “udah kelas V belum bisa membaca, kok bisa?”, gumam saya dalam hati. Mataku langsung tertuju pada sesosok anak yang dipanggil Kerlina, tak lama dari itu aku mendekatinya sambil memikirkan apa yang harus kulakukan terhadap celetuk teman sekelompoknya. Saat itu, wajahnya hanya tertunduk saja, seperti sedang menahan malu yang luar biasa. Kupandang lekat-lekat Kerlina dan teman sekelompoknya, “nah, makanya dibuat kelompok agar kalian bisa ngajari Kerlina, ok”, jawabku sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan mereka.
Itu pertama kalinya aku mengenal Kerlina. Hal yang kupikirkan tentangnya mungkinkah Kerlina menderita disleksia, hingga suatu hari aku memintanya untuk membaca tulisan yang telah kubuat, ternyata Kerlina menunjukkan gejala-gejala anak yang mengalami disleksia, yaitu Kerlina belum bisa membedakan huruf “M” dengan “N”, kemudian huruf “T” dengan “W”. Selain itu dari segi pengucapan huruf, ia belum bisa membedakan huruf “F” dengan “P” dan juga “V”. Kemudian, ketika diminta membaca satu kata dengan cara mengeja, ia membacanya mulai dari ejaan paling belakang, sehingga kerap kali kata yang tertulis berbeda dengan kata yang ia baca, terkadang juga menambah huruf-huruf yang seharusnya tidak ada menjadi ada atau mengurangi huruf-huruf yang seharusnya ada menjadi tidak ada dan hal itu pun berdampak pada tulisannya.
Mungkin kejadian ini merupakan hal yang biasa saja karena gejala seperti itu dianggab ciri-ciri dari anak yang bodoh atau anak yang malas belajar. Akan tetapi bagiku, itu adalah hal yang tidak berlaku untuk Kerlina karena Kerlina bukanlah sosok anak yang seperti itu, ia hanya mengalami kesulitan ketika mengelola informasi yang hendak dibaca ataupun didengar sehingga menyebabkan proses pembelajarannya tidak sempurna, apa yang ditanyakan tidak sesuai dengan apa yang dijawab, terkadang jikapun mengerti dengan pertanyaan itu dan mengetahui jawabannya, ia hanya bisa membuat jawaban itu berada di alam pikirannya dan ketika hendak menuliskannya, ia sulit untuk menyusun satu per satu huruf yang harus digunakan dan pada akhirnya, Kerlina selalu mendapatkan nilai paling kecil diantara teman-temannya.
                Namun, hal itu tidak membuatku menyerah. Aku berusaha memberikan les tambahan kepadanya sepulang sekolah. Meski, waktu yang kupunya hanya 2 bulan, ternyata aku belum mampu sepenuhnya membuat Kerlina membaca dikarenakan waktu yang sedikit itu tidak cukup untuk mengajarinya membaca. Namun, selama kami belajar bersama, Kerlina sudah mampu menyelesaikan satu indikator yaitu membedakan huruf, tinggal bagaimana cara menyusun dan membaca kalimat. Hal itu sungguh membuatku bahagia. Akan tetapi, ada hal yang lebih luar biasa yang dimiliki oleh Kerlina, sesuatu yang belum tentu anak lain bisa melakukan seperti apa yang Kerlina lakukan. Saat itu, ketika pembelajaran matematika mengenai sifat-sifat kubus, siswa mendapat tugas dariku untuk membuat kubus dengan menggunakan origami, yang mana posisiku adalah pengarah atau pemberi petunjuk cara membuat kubus tersebut. Semua siswa mengikuti petunjukku, akan tetapi ketika merangkai origami menjadi kubus, siswa mengalami kesulitan sehingga beberapa kali aku harus mengulangnya dan mengajari mereka satu per satu.  Namun, diantara semua siswa tersebut, Kerlinalah yang tidak sama sekali meminta bantuanku untuk mengajarinya. Ia hanya sesekali maju ke depan dan memperhatikan aktivitas yang dilakukan olehku. Kemudian, dengan sigapnya, Kerlina menunjukkan hasil buatannya kepadaku, ternyata kubus yang dia buat berbeda bentuk dengan kubus buatanku. Hal itu membuat aku menjadi kaget dan takjub, “anak ini kreatif”, gumamku sambil tersenyum. Namun, karena Kerlina merasa bentuk kubusnya berbeda dari teman-temannya yang lain, ia pun dengan cepat merangkainya kembali menjadi bentuk kubus yang sama dengan teman-temannya. Tidak hanya itu, Kerlina juga cepat menangkap jika diajari membuat kreatifitas, salah satunya membuat bunga dari plastik, bunga dari kertas kreb, hanya dengan melihat saja contohnya ia telah mampu membuatnya sendiri dan bahkan mengajari teman-temannya yang lain.
                Dari semua karya yang dibuat Kerlina, ada satu karya yang membuatku sangat terharu. Saat itu, ketika kami belajar bersama, Kerlina izin sebentar untuk mengambil sesuatu di kamarnya. Dengan langkahnya yang pelan, sambil tangannya di belakang, tiba-tiba dia mendekatiku dan berkata “Ini untuk ibu” sambil memberikan sebuah benda yang unik. Melihat itu, ada perasaan haru yang menyelimutiku, ingin sekali aku menangis, tetapi air mata itu tertahankan di ujung pelupuk mataku. Aku hanya bisa terdiam dan memandang benda yang tepat berada di depan mataku….ya benda berwarna pink dengan wajah menyerupai kucing telah menghipnotisku sesaat, bukan karena bagaimana bentuk benda itu, tetapi makna dibalik benda itu telah mengingatkanku dengan masa kecilku, sebuah tabungan yang didesign sendiri dengan wajah kucing, telah membuat hariku saat itu semakin berwarna dan perlahan aku mengatakan “terimakasih ya, ini sangat bagus sekali” ungkapku sambil tersenyum kepada Kerlina.
                Jika dipikirkan, bukannya setiap anak itu special? Meski mereka belum mampu secara akademik, ternyata mereka mampu mengeksplor kecerdasan lainnya dalam bentuk karya salah satu contohnya adalah Kerlina. Dilihat dari kecerdasan kognitif, Kerlina belum mencapai kompetensi belajar yaitu membaca. Namun jika dilihat dari kecerdasan Psikomotorik, Kerlina telah mencapainya, ia mampu mengeksplorasi setiap ide kreatif yang ia miliki dan mengaplikasikannya melalui hasil karya yang telah ia buat. Bukankah, hal itu luar biasa???? Setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing, tinggal bagaimana peran lingkungannya dalam mengembangkan setiap kecerdasan tersebut.

Gambar di bawah ini merupakan hasil karya Kerlina
            
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar