Minggu, 13 April 2014

PTK itu Penting loh!!!

PTK? mungkin singkatan ini sudah lazim untuk didengar bahkan sudah biasa untuk diucapkan. Akan tetapi, ketika pelaksanaanya masih banyak guru yang belum mengerti secara keseluruhan mengenai pentingnya PTK dalam meningkatkan keberhasilan pembelajaran di kelas.

PTK singkatan dari Penelitian Tindakan Kelas yang merupakan salah satu jenis penelitian yang digunakan guru untuk mengukur keberhasilan pembelajaran di dalam kelas baik itu hasil belajar siswa, aktivitas siswa, proses pembelajaran, motivasi siswa, minat siswa dan lain-lain. Selain itu, PTK juga bertujuan untuk membantu guru dalam mengukur kompetensi yang dimilikinya, sehingga setiap pertemuan dalam siklusnya selalu ada perubahan yang lebih baik jika tindakan yang dilakukan belum mencapai indikator yang diinginkan. Selanjutnya dengan adanya PTK, membuat guru menjadi kreatif dalam merencanakan skenario pembelajaran karena diketahui bahwa di dalam PTK terdapat siklus-siklus yang mengacu pada keberhasilan indikator yang diinginkan, sehingga ketika di dalam siklus tersebut ada tindakan yang kurang tepat dan belum mencapai indikator yang diinginkan, maka dengan cepat guru akan mencari solusi atas kekurangan/kelemahan yang terjadi pada siklus tersebut bisa berupa ketidaksesuaian dalam pemilihan metode, kemudian tidak adanya media pembelajaran yang sesuai dengan materi atau juga informasi yang diberikan tidak menyeluruh. Kemudian setelah mendapatkan solusi tersebut, guru akan menerapkan pada siklus selanjutnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama pada siklus sebelumnya. Dengan demikian, secara tidak langsung PTK telah melatih kreativitas guru dalam merencanakan pembelajaran. Tidak hanya itu, dengan adanya PTK akan membuat proses pembelajaran di kelas lebih aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan, yang mana dapat membangun pengetahuan siswa secara mandiri, sehingga pengetahuan tersebut membekas lama di memori siswa, dan akhirnya dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki siswa sesuai dengan bakat dan minat siswa. Hal itulah akan membuat pembelajaran di kelas tidak membosankan, kemudian siswa tidak pasif dan pastinya pembelajaran yang terjadi berpusat pada siswa (student center).


Resume dari pembelajaran hari ini mengenai PTK bersama Bapak Wijaya Kusumah (om Jay)

Sabtu, 12 April 2014

Pendidikan itu Mendidik, Bukan Untuk Membunuh

Fenomena pendidikan saat ini, telah memberi luka bagi anak-anak didik terutama untuk anak sekolah dasar, kerap kali bagaikan penjara yang membelenggu kreatifitas anak, tidak hanya itu suasana kelas yang dingin, kaku, tidak menyenangkan menambah penderitaan untuk mereka, hingga terkadang label “kuburan” pantas untuk disandang, seperti itulah kondisi kelas yang sering kali ditemui di sekolah. Selain dari itu, penggunaan bahasa yang kasar menjadi senjata bagi guru untuk membuat anak-anak menjadi tertib atau membuat mereka agar belajar sesuai dengan keinginan guru tersebut, seperti “kamu ini bodoh ya? Begini saja gak bisa, coba dibaca!!!!”. Kalimat-kalimat seperti ini mungkin pernah didengar, tidak hanya guru bahkan orang tua pun juga pernah mengatakan kalimat seperti itu. Jika dipikirkan apa yang terjadi dengan anak-anak yang mendapatkan perlakuan seperti itu? Sering kali, anak-anak hanya merespon dengan ekspresi kediaman mereka, akan tetapi bagaimana dengan perkembangan psikologi mereka? Pernahkah kita memikirkan, apa yang dirasakan anak-anak ketika telinga yang seharusnya mendengar hal yang baik, tetapi yang diterima adalah perkataan-perkataan kasar bahkan ada juga yang memberikan tindakan kasar seperti mencubit atau memukul. Beginilah potret pendidikan yang terjadi di negara kita ini. Sungguh sangat menyedihkan jika seorang guru hanya mengajar saja yang notabennya sekedar mengtransfer ilmu, tanpa memikirkan perkembangan psikologi anak terhadap perilaku-perilaku yang diterima oleh anak.
Dalam teori psikologi perkembangan anak dari piaget yang menyatakan “belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi akibat adanya pengalaman dan sifatnya relative tetap”. Hal ini menunjukkan bahwa seorang anak dikatakan belajar, jika di dalam dirinya mengalami perubahan tingkah laku, yang mana perubahan tersebut diperoleh dari pengalaman yang pernah diterima oleh anak dan juga perubahan tersebut akan bersifat tetap jika anak mendapatkan pembelajarannya dari hal yang pernah dialaminya sendiri. Dengan demikian, anak akan menerima suatu pembelajaran jika pembelajaran tersebut bersifat konkrit atau nyata, berarti titik tumpu keberhasilan sebuah pembelajaran adalah peran seorang pendidik, salah satunya adalah guru. Guru adalah cerminan dari anak didiknya, guru adalah tauladan bagi anak didiknya dan guru adalah model bagi anak didiknya. Maka dari itu, apa yang dilakukan guru, hal itulah yang dilakukan oleh anak didiknya. 
Selain dari itu, menurut Piaget mengenai terjadinya proses belajar didasari atas 4 konsep dasar, yaitu skema, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan. Skema adalah pengalaman khas yang diterima anak berupa stimulus dari benda sekitarnya, peristiwa ataupun gagasan yang telah dimiliki sebelumnya, yang selanjutnya anak akan mengasimilasikannya dengan cara menyesuaikan stimulus yang ada di dalam pikiran anak dengan stimulus yang baru diperolehnya dari lingkungan. Kemudian, jika hal itu sesuai dengan apa yang dipikirkannya maka anak akan mengakomodasikannya yang nantinya akan membentuk keseimbangan dan akhirnya terjadilah perubahan tingkah laku pada anak.
Akan tetapi, apa yang terjadi, jika stimulus yang baru diperoleh anak tersebut tidak sesuai dengan pemikiran anak??? Pastinya akan terjadi semacam gangguan mental atau ketidakpuasan mental seperti kekesalan, kemarahan, dan bahkan kebencian. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam proses belajar, sehingga anak didik kerap kali lebih memilih untuk melepaskan diri dari proses belajar, mengabaikan stimulus, menyerah dan tidak berbuat apa-apa bahkan lebih parah lagi memutuskan untuk tidak ingin pergi ke sekolah, secara tidak langsung proses belajar seperti ini merupakan salah satu cara dalam membunuh karakter anak yaitu hilangnya kepercayaan diri, motivasi yang rendah dan kurangnya minat siswa dalam belajar. Sehingga pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri jika hasil belajar yang diperoleh anak didik adalah rendah.
Kadang kala, pemikiran saat ini yang terjadi di lingkungan sekolah atau masyarakat menyatakan bahwa rendahnya hasil belajar anak didik diakibatkan karena kesalahan anak didik itu sendiri yaitu tidak memperhatikan guru, malas belajar ataupun alasan lain yang menyatakan anak didiklah yang salah. Namun, jika diperhatikan sepenuhnya bukanlah datang dari kesalahan anak didik, banyak faktor lain yang menyebabkan hal itu terjadi, bisa datang dari sekolah atau dari keluarga yang notabennya memiliki pengaruh besar dalam meningkatkan hasil belajar anak didik. Mungkin hal ini sering kali disepelekan karena terkadang pemikiran orang dewasa itulah yang paling benar, sehingga sering kali langsung "mengjudge" perilaku anak didik yang salah tanpa mendengarkan penjelasan mereka terlebih dahulu. Jikapun anak didik melakukan kesalahan, hal yang dapat dilakukan adalah memberikan penjelasan kepada mereka secara rinci dengan  tidak menjudge kesalahan yang telah mereka lakukan, sehingga anak didik bisa menerimanya dengan lapang dada tanpa memberontak atau menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan. Dengan demikian pendidikan itu tidak hanya mengajar, melainkan bagaimana mendidik anak agar tidak membunuh karakternya, melainkan dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki anak sehingga dapat bersaing di era globalisasi saat ini.

Senin, 07 April 2014

Aktivitas Saya

 1. Metode Pembelajaran Karya Wisata dalam Materi Batuan, Pelapukan dan Tanah sekaligus Hidroponik


2. Mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar dengan menggunakan origami


3. Model Pembelajaran Role Playing dalam materi drama


4. Model pembelajaran Kooperatif tipe tutor sebaya


Sabtu, 05 April 2014

Kerlina, Anak Kreatif Penderita Disleksia

    "Disleksia", adalah kata yang jarang sekali terdengar di kalangan masyarakat umum. Kata ini digunakan untuk anak-anak yang belum mampu belajar dalam aktivitas membaca dan menulis dikarenakan adanya kesulitan yang mereka hadapi. Kerap kali yang terjadi di sekolah, anak-anak seperti itu dianggab "bodoh", hingga tidak jarang pilihan yang harus mereka terima adalah "tidak naik kelas". 



Kerlina adalah sesosok anak perempuan yang manis, perawakannya cukup tinggi, warna kulitnya sawo matang dan rambutnya hitam lurus memanjang.. Kini umurnya 14 tahun, seusia dengan anak yang duduk di kelas VIII SMP. Namun pada kenyataannya, ia sekarang masih duduk di bangku kelas V SD. Begitulah kondisi yang dihadapi Kerlina, ia sudah 3 kali tidak naik kelas dikarenakan tidak bisa membaca. Anak yang biasa dipanggil Elin oleh orang-orang sekitarnya, itu selalu tampil periang, meski sering kali diperolok-olok oleh teman-teman sekelasnya karena kondisinya yang belum bisa membaca. Akan tetapi, hal itu tidak pernah membuatnya menyerah untuk tetap sekolah. Ia tetap bertahan diantara kekurangan yang ada pada dirinya, walaupun tidak bisa dipungkiri anak seusia itu pasti akan merasa minder terhadap lingkungannya. Namun karena semangatnya yang tinggi tak pernah menghentikan langkahnya sedikitpun.
Pertama kali ku melihatnya, ketika mengajar di kelas V materi cara membaca puisi. Saat itu, aku membagi siswa menjadi 8 kelompok. Namun, tiba-tiba ada beberapa siswa yang menyeletuk “ibu, kami tidak mau berkelompok dengan Kerlina. Dia tidak bisa membaca, gimana dengan kelompok kami, Bu?”. Mendengar itu, aku sungguh kaget, “udah kelas V belum bisa membaca, kok bisa?”, gumam saya dalam hati. Mataku langsung tertuju pada sesosok anak yang dipanggil Kerlina, tak lama dari itu aku mendekatinya sambil memikirkan apa yang harus kulakukan terhadap celetuk teman sekelompoknya. Saat itu, wajahnya hanya tertunduk saja, seperti sedang menahan malu yang luar biasa. Kupandang lekat-lekat Kerlina dan teman sekelompoknya, “nah, makanya dibuat kelompok agar kalian bisa ngajari Kerlina, ok”, jawabku sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan mereka.
Itu pertama kalinya aku mengenal Kerlina. Hal yang kupikirkan tentangnya mungkinkah Kerlina menderita disleksia, hingga suatu hari aku memintanya untuk membaca tulisan yang telah kubuat, ternyata Kerlina menunjukkan gejala-gejala anak yang mengalami disleksia, yaitu Kerlina belum bisa membedakan huruf “M” dengan “N”, kemudian huruf “T” dengan “W”. Selain itu dari segi pengucapan huruf, ia belum bisa membedakan huruf “F” dengan “P” dan juga “V”. Kemudian, ketika diminta membaca satu kata dengan cara mengeja, ia membacanya mulai dari ejaan paling belakang, sehingga kerap kali kata yang tertulis berbeda dengan kata yang ia baca, terkadang juga menambah huruf-huruf yang seharusnya tidak ada menjadi ada atau mengurangi huruf-huruf yang seharusnya ada menjadi tidak ada dan hal itu pun berdampak pada tulisannya.
Mungkin kejadian ini merupakan hal yang biasa saja karena gejala seperti itu dianggab ciri-ciri dari anak yang bodoh atau anak yang malas belajar. Akan tetapi bagiku, itu adalah hal yang tidak berlaku untuk Kerlina karena Kerlina bukanlah sosok anak yang seperti itu, ia hanya mengalami kesulitan ketika mengelola informasi yang hendak dibaca ataupun didengar sehingga menyebabkan proses pembelajarannya tidak sempurna, apa yang ditanyakan tidak sesuai dengan apa yang dijawab, terkadang jikapun mengerti dengan pertanyaan itu dan mengetahui jawabannya, ia hanya bisa membuat jawaban itu berada di alam pikirannya dan ketika hendak menuliskannya, ia sulit untuk menyusun satu per satu huruf yang harus digunakan dan pada akhirnya, Kerlina selalu mendapatkan nilai paling kecil diantara teman-temannya.
                Namun, hal itu tidak membuatku menyerah. Aku berusaha memberikan les tambahan kepadanya sepulang sekolah. Meski, waktu yang kupunya hanya 2 bulan, ternyata aku belum mampu sepenuhnya membuat Kerlina membaca dikarenakan waktu yang sedikit itu tidak cukup untuk mengajarinya membaca. Namun, selama kami belajar bersama, Kerlina sudah mampu menyelesaikan satu indikator yaitu membedakan huruf, tinggal bagaimana cara menyusun dan membaca kalimat. Hal itu sungguh membuatku bahagia. Akan tetapi, ada hal yang lebih luar biasa yang dimiliki oleh Kerlina, sesuatu yang belum tentu anak lain bisa melakukan seperti apa yang Kerlina lakukan. Saat itu, ketika pembelajaran matematika mengenai sifat-sifat kubus, siswa mendapat tugas dariku untuk membuat kubus dengan menggunakan origami, yang mana posisiku adalah pengarah atau pemberi petunjuk cara membuat kubus tersebut. Semua siswa mengikuti petunjukku, akan tetapi ketika merangkai origami menjadi kubus, siswa mengalami kesulitan sehingga beberapa kali aku harus mengulangnya dan mengajari mereka satu per satu.  Namun, diantara semua siswa tersebut, Kerlinalah yang tidak sama sekali meminta bantuanku untuk mengajarinya. Ia hanya sesekali maju ke depan dan memperhatikan aktivitas yang dilakukan olehku. Kemudian, dengan sigapnya, Kerlina menunjukkan hasil buatannya kepadaku, ternyata kubus yang dia buat berbeda bentuk dengan kubus buatanku. Hal itu membuat aku menjadi kaget dan takjub, “anak ini kreatif”, gumamku sambil tersenyum. Namun, karena Kerlina merasa bentuk kubusnya berbeda dari teman-temannya yang lain, ia pun dengan cepat merangkainya kembali menjadi bentuk kubus yang sama dengan teman-temannya. Tidak hanya itu, Kerlina juga cepat menangkap jika diajari membuat kreatifitas, salah satunya membuat bunga dari plastik, bunga dari kertas kreb, hanya dengan melihat saja contohnya ia telah mampu membuatnya sendiri dan bahkan mengajari teman-temannya yang lain.
                Dari semua karya yang dibuat Kerlina, ada satu karya yang membuatku sangat terharu. Saat itu, ketika kami belajar bersama, Kerlina izin sebentar untuk mengambil sesuatu di kamarnya. Dengan langkahnya yang pelan, sambil tangannya di belakang, tiba-tiba dia mendekatiku dan berkata “Ini untuk ibu” sambil memberikan sebuah benda yang unik. Melihat itu, ada perasaan haru yang menyelimutiku, ingin sekali aku menangis, tetapi air mata itu tertahankan di ujung pelupuk mataku. Aku hanya bisa terdiam dan memandang benda yang tepat berada di depan mataku….ya benda berwarna pink dengan wajah menyerupai kucing telah menghipnotisku sesaat, bukan karena bagaimana bentuk benda itu, tetapi makna dibalik benda itu telah mengingatkanku dengan masa kecilku, sebuah tabungan yang didesign sendiri dengan wajah kucing, telah membuat hariku saat itu semakin berwarna dan perlahan aku mengatakan “terimakasih ya, ini sangat bagus sekali” ungkapku sambil tersenyum kepada Kerlina.
                Jika dipikirkan, bukannya setiap anak itu special? Meski mereka belum mampu secara akademik, ternyata mereka mampu mengeksplor kecerdasan lainnya dalam bentuk karya salah satu contohnya adalah Kerlina. Dilihat dari kecerdasan kognitif, Kerlina belum mencapai kompetensi belajar yaitu membaca. Namun jika dilihat dari kecerdasan Psikomotorik, Kerlina telah mencapainya, ia mampu mengeksplorasi setiap ide kreatif yang ia miliki dan mengaplikasikannya melalui hasil karya yang telah ia buat. Bukankah, hal itu luar biasa???? Setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing, tinggal bagaimana peran lingkungannya dalam mengembangkan setiap kecerdasan tersebut.

Gambar di bawah ini merupakan hasil karya Kerlina
            
         

Kampusku Awal Perubahanku

http://www.bersamadakwah.com/2013/10/kampusku-awal-perubahanku.html


           Dalam pikiranku yang kelam, saya termenung apakah saya harus mengambil jurusan ini? Apakah ini jalan hidupku? Setelah begitu banyak pertimbangan, saya memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan keguruan di salah satu perguruan tinggi negeri, walaupun saya tidak mengerti darimana munculnya keyakinan itu. Akan tetapi, disinilah saya memulai mengenal Islam lebih jauh dan perlahan-lahan memahaminya secara keseluruhan, sehingga baru saya menyadari bahwa saya adalah salah satu dari obyek dakwah itu sendiri.

         Hal ini bermula, ketika saya menginjakkan kaki di kampus tersebut sebagai mahasiswa baru yang mengikuti kegiatan P2K (Pengenalan Program Kampus). Pandanganku mencari dimana barisan jurusanku, tetapi mataku tertuju satu hal yang menurutku aneh, sehingga terbesit dipemikiranku “Mengapa panitia perempuan rata-rata berjilbab? Ini sebenarnya kampus atau pesantren? Apakah nanti saya harus berpakaian seperti itu juga?” Hatiku menjawab: “saya tidak ingin seperti itu apalagi menggunakan jilbab, pasti sulit pakai jilbab!” Kemudian saya menepis pemikiran itu,karena saya harus segera mencari barisanku. Akhirnya dengan nafas yang tersengal-sengal, saya menemukannya dan ternyata, di jurusanku dengan 5 laki-laki dan 31 perempuan, hanya 6 perempuan yang tidak menggunakan jilbab, salah satunya adalah saya. “Biarin sajalah, saya adalah saya”, demikian kata hatiku saat itu.

            Kegiatan P2K selesai dengan lancar. Sebelum pulang kami diabsen oleh panitia dan salah satu panitia perempuan menunjukkan tangannya ke arahku dan bertanya “Dek, agamanya Kristen?” Saya kaget dan menjawab “Bukan mbak, saya Islam.” Kemudian mbak itu pergi tanpa ada satu katapun yang terucap dan saya termenung dengan lamunanku sendiri “Hmm, gara-gara saya tidak berjilbab dianggap Kristen, apakah orang Islam itu harus berjilbab?”
Seiring perjalananku menuju rumah, saya dikagetkan lagi, tiba-tiba ada yang menegurku dari jarak jauh dan sambil mendekatiku, “Assalammualaikum, kamu yang tadi satu kelas denganku? kata wanita itu”.
“Mmm, iya ya?”, jawabku.
“Iya, tadi kamu barisnya di depanku. Kenalkan, namaku Bunga”.
“Ouw iya, namaku Desty, salam kenal juga”
“Nanti kita bertemu lagi ya”
“OK lah, sampai bertemu lagi,” jawabku mengakhiri perkenalan pertama saya dengan Bunga, yang kelak menjadi salah satu orang yang berpengaruh besar dalam perubahan hidupku.

         Kamipun berteman dengan baik, tetapi sering timbul pertanyaan karena menurutku pertama kalinya saya mempunyai teman seperti Bunga, teman yang cara berpakaiannya sudah sangat berbeda dibandingkan dengan teman-temanku sebelumnya. Bukan hanya Bunga, ada juga sebagian teman di kelas yang berpakaiannya sama seperti Bunga, yang sering kali kupertanyakan, ”Mengapa jilbabnya panjang sampai menutupi dada dan sampai menjulur ke belakang, sedangkan yang sering kulihat jilbab yang pendek dan modis?” Bahkan bukan hanya di kelas, melainkan sebagian di kampus berpakaian seperti itu, walaupun tidak terlalu banyak, tetapi menonjol dan menjadi pusat perhatianku. Meski kepalaku penuh dengan pertanyaan seperti itu, saya tetap saja kokoh dengan pemikiranku sendiri yaitu saya adalah saya, terserah apa yang ada di sekitarku. Akan tetapi semuanya runtuh secara bertahap, saya mulai ragu dengan pemikiranku sendiri. Hal itu terjadi, ketika adanya kegiatan kampus yang harus diikuti oleh mahasiswa baru yaitu “Go Amkai atau Mentoring” yang dilaksanakan pada hari Sabtu. Pada hari sebelumnya sudah ada selebaran yang menginformasikan kegiatan tersebut dan ada salah satu opini di selembaran tersebut kalau setiap hari Jum’at menggunakan jilbab. Hal itu, saya tanyakan kepada Bunga dan akhirnya saya memutuskan untuk berjilbab di hari Jum’at saja karena mengikuti apa yang disampaikan panitia kepada Bunga sebab saya berfikir tidak ingin bermasalah dengan panitia. Akan tetapi, teman di kelas kaget melihat saya, mereka berfikir saya sudah berjilbab dan mengatakan selamat kepada saya. Saya terpaku diam di kelas, ingin sekali mengatakan kalau saya belum berjilbab alias salah pakai kostum, namun satu katapun tidak terucap, mulut ini bagaikan terkunci tidak bisa mengatakan atau menyangkal apapun. Ketika hari esoknya, kegiatan Amkai dimulai dan saya menggunakan jilbab lagi karena tuntutan panitia. Hal itu semakin membuat keyakinan teman-teman saya kalau saya berjilbab. Akhirnya, saya memutuskan untuk berjilbab. Meskipun saya sudah berjilbab, tetap saja saya merasa aneh dengan lingkungan saya sendiri. Jilbab yang saya gunakan adalah jilbab yang pendek, tidak menutupi dada dan transparan serta cara berpakaian saya tetap menggunakan jeans dan jauh untuk menggunakan kaos kaki.

           Kemudian saya juga mengikuti mentoring karena tuntutan nilai agama. Berjalannya waktu,  mentoring telah selesai dan selanjutnya yaitu liqo. Akan tetapi, saya tidak mengikuti liqo karena saya berfikir, mungkin saja itu aliran sesat yang nanti bisa menjerumuskan saya ke hal yang negatif. Pemikiran itulah, yang saya pegang. Meski akhirnya, mulai berangsur berubah ketika saya memutuskan bergabung di BEM. Saya bertemu dengan mbak-mbak yang jilbabnya lebih panjang dari teman-teman saya dan salah satu dari mereka mengatakan pada saya, “Ngaji tidak?” Saya hanya tersenyum saja ketika mendengar itu, mbak itu berekspresi seolah-olah sudah mengerti arti senyum saya dan mbak itu mengatakan, “Jika ingin mendapat suami yang baik, maka jadilah perempuan yang baik”.“Mengapa seperti itu mbak, saya kan belum ingin menikah, apa hubungannya?”, jawabku. Mbak itu hanya tersenyum, sambil menjawab, “Makanya, ngajilah!” Mendengar itu saya kaget, hati ini terasa sakit, di fikiranku hanya terlewat, ”Mengapa seperti itu, saya perempuan baik-baik dan keluargaku juga baik-baik, apa hubungannya?” Saya hanya merasa terhina dari perkataan mbak itu, tanpa sadar air mata menetes tidak bisa menahan lagi rasa sakit tersebut. Sayapun pergi bertemu dengan Bunga dan menceritakan itu semua sambil menangis, entah darimana pemikiran itu, tiba-tiba saya mengatakan pada Bunga bahwa saya memutuskan untuk ikut liqo, saya hanya berfikir saya akan membuktikan, bahwa saya adalah perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Akhirnya, Bunga yang mendengar itu menyampaikan maksud saya kepada orang yang tepat untuk mendakwahi saya. Sejak saat itulah, satu persatu saya mulai berubah dimulai dari cara berjilbab, berpakaian, pemahaman mengenai Islam serta konsep mengenai dakwah itu sendiri.[]


7 Cara Meningkatkan Rasa Percaya Diri Anak



Resensi Buku


 Saat ini bukan hal aneh lagi jika kita melihat prilaku anak-anak yang sikapnya manja, tidak ada sopan santun terhadap orang lain bahkan melakukan tindakan negatif yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh seorang anak. Hal ini dapat dilihat pada media elektronik seperti televisi yang kerap kali memberitakan tentang prilaku anak yang negative. Selain itu juga, bisa dilihat dalam proses pembelajaran selama di sekolah, ada anak-anak yang tidak bisa diatur, ada juga yang bertengkar dengan temannya, ada juga yang suka menghina temannya bahkan ada juga yang tidak sopan dengan gurunya dan prilaku-prilaku negative lainnya. Prilaku-prilaku seperti itu, sering kali menimbulkan pertanyaan bagi orang tua, guru dan masyarakat, “Mengapa  anak saya seperti itu?”. Hal ini lah yang terjadi di zaman saat ini, orang tua yang memberikan kebebasan kepada anak-anaknya tanpa menyaringnya , membuat pola pikir anak tersebut menjadi keblabasan sehingga anak-anak belum bisa membedakan mana yang benar maupun yang salah. Maka dari itu, sebagai orang tua harus bisa menjadi guru bagi anak-anaknya, tidak hanya mengajari melainkan juga mendidiknya , sehingga ketika dewasa nanti, mereka menjadi anak-anak yang berkarakter, baik itu dari segi intektual, emotional dan spiritual.


Dalam pembentukkan karakter anak, dimulai dan ditanamkan sejak anak sedini mungkin karena usia dini merupakan waktu yang tepat untuk anak dalam menemukan hal-hal yang baru terutama dalam pembentukkan mental salah satunya adalah rasa percaya diri. Rasa percaya diri merupakan salah satu komponen yang penting dalam membentuk karakter anak karena rasa percaya diri merupakan modal dasar anak untuk berhasil di dalam kehidupan pembelajarannya. Dengan adanya rasa percaya diri akan membentuk keberanian anak untuk mengeksplorasi semua potensi yang dimiliki anak. Menurut Inge Pudjiasti Adywibowo, rasa percaya diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan prilaku tertentu atau mencapai target tertentu. Rasa percaya diri bukan merupakan bakat (bawaan), melainkan kualitas mental, artinya kepercayaan diri merupakan pencapaian yang dihasilkan dari proses pendidikan. Jadi, untuk meningkatkan rasa percaya diri anak harus dilatih dan dibiasakan dan hal itu didapat dari lingkungan, terutama dari orang tua dan guru.yang memiliki peran besar dalam kehidupan anak.
Buku “7 Cara Meningkatkan Rasa Percaya Diri anak” yang ditulis oleh Timothy Wibowo turut memberikan inspirasi dalam kemajuan pendidikan. Pendahuluan buku ini menjelaskan tentang pentingnya rasa percaya diri. Hal ini tertuang pada sebuah kisah yang diterjemahkan dari buku “chicken soup for the college soul”. Buku ini menceritakan tentang seorang gadis yang berusia 17 tahun dengan latar belakang sosial ekonominya rendah, tetapi memiliki mimpi yang sangat besar yaitu kuliah di Amerika. Dengan tekad yang dimilikinya, ia menghampiri seorang guru bahasa inggris yang mengajar di salah satu sekolah international dan ia pun menyampaikan keinginannya pada guru tersebut. Akhirnya, ia dapat mengikuti les tambahan bahasa inggris dengan guru tersebut. Dia pun semakin bersemangat untuk belajar dan seiring waktu kemampuan bahasanya semakin meningkat, hingga suatu ketika ada beasiswa untuk kuliah di Amerika. Awalnya guru tersebut pesimis terhadap gadis itu karena ada beberapa syarat yang belum dipenuhi oleh gadis tersebut. Akan tetapi, tidak membuat gadis tersebut patah semangat, bahkan sebaliknya dia semakin yakin dan terus berusaha, hingga pada akhirnya dia mendapatkan beasiswa tersebut dan gadis itupun telah meraih mimpinya. Kemudian gurunya menyadari bahwa bukan kecerdasan saja yang membawa kesuksesan, tetapi juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras dan keberanian untuk percaya akan dirimu sendiri. Dari cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk meraih mimpi, tidak hanya butuh kecerdasan tetapi tekad, semangat, keberanian dan percaya diri merupakan hal yang penting untuk meraih mimpi.
Timothy Wibowo dalam bukunya memberikan paparan bahwa rasa percaya diri adalah modal dasar untuk sukses di segala bidang. Hal itu dapat dilihat ketika kisah seorang anak yang berusaha untuk berjalan. Seandainya jika anak-anak takut menghadapi kegagalan, niscaya mereka tidak akan bisa berjalan seperti ini dikarenakan untuk berjalan, banyak kesulitan yang dihadapi dan tidak sedikit rasa sakit yang harus ditanggung. Dengan kata lain, sejak dini sebenarnya anak-anak sudah memiliki rasa percaya diri, hanya saja terkadang faktor lingkunganlah yang membuat anak-anak menjadi pemalu, penakut dan tidak percaya diri. Timothy wibowo juga menjelaskan 2 faktor penyebab anak memiliki rasa percaya diri yang rendah yaitu pola asuh yang salah dan trauma. Pertama pola asuh yang salah dapat menyebabkan perkembangan kemandirian sosial anak terhambat, misal orang tua dengan pengasuhan yang otoriter, cara mendidik yang salah dan berdasar pada ancaman, pemukulan dan kekerasan lainnya. Kedua trauma, penyebabnya berasal dari pengalaman atau hal-hal yang tidak menyenangkan di masa lalunya, misal salah mengerjakan soal di sekolah, dia disuruh berdiri dipojok kelas sehingga malu, hal ini menyebabkan anak takut untuk menjawab pertanyaan lagi. Selain itu, dalam lingkungan sosialnya dapat saja dihina, diejek dan ditertawakan oleh teman-temannya.
Maka dari itu, untuk meningkatkan rasa percaya diri anak tidak hanya dari dalam diri anak itu sendiri, tetapi faktor lingkunganlah yang juga berperan besar dalam menentukan kepercayaan diri anak. Ada tujuh cara meningkatkan rasa percaya diri anak menurut Timothy Wibowo, yaitu mengevaluasi pola asuh, pujian yang tepat, agenda sosialisasi, kenalkan anak pada beragam karakter melalui cerita, bermain peran, biarkan kesalahan terjadi dan berikan resiko teringan, dan pahami kepribadian anak. Pertama mengevaluasi pola asuh, idealnya setiap orang tua bersikap demokratis, memegang kendali namun tetap memberikan kebebasan anak untuk berpendapat karena sikap orang tua yang seperti itu akan mudah diterima anak sesuai dengan persepsinya saat itu. Selain itu orang tua adalah teladan bagi anak-anaknya, sehingga jika pola asuhnya salah, maka hal itulah yang akan ditiru anak di kemudian hari.  Jadi, anak perlu diajarkan untuk memiliki rasa percaya diri yaitu mempunyai perasaan yang teguh pada pendirian, tabah apabila menghadapi masalah, kreatif dalam mencari jalan keluar,, ambisi dalam mencapai sesuatu, perasaan yang konstruktif, hormat pada orang lain dan bersyukur pada apa yang dimilikinya. Kedua pujian yang tepat, menurut Shari Young Kuchenbeker, anak-anak merasa lebih senang dan mampu menghadapi tantangan ketika mereka mendapatkan pujian atas usahanya bukan pujian atas talentanya. Ketiga agenda sosialisasi, artinya memberikan kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, misal bermain dengan teman. Keempat kenalkan anak pada beragam karakter melalui cerita, artinya hal ini dapat dilakukan dengan memberikan cerita yang disesuaikan dengan karakteristik anak sehingga dapat menarik perhatian anak dan anak tidak merasa bosan dengan kegiatan tersebut. Kelima bermain peran, hal ini untuk melatih komunikasi anak agar dapat berinteraksi dengan orang lain. Keenam biarkan kesalahan terjadi dan berikan resiko teringan, artinya jika anak melakukan kesalahan atau tidak bisa menyelesaikan tugas, bukan berarti orang tua langsung memberikan solusi, melainkan membimbingnya saja hingga anak dapat menyelesaikannya sendiri asalkan tidak membahayakannya. Ketujuh pahami kepribadian anak, berarti menyingkat waktu untuk menebak-nebak, berusaha mengerti dan memahami anak berdasarkan tipologi kepribadiannya yaitu melankolis, korelis, phlegmatis dan sanguinis.
Buku ini memiliki beberapa keunggulan yaitu  penyajian materinya sangat baik karena bahasa yang digunakan lugas dan memiliki ilustrasi yang menarik berupa gambar-gambar tentang kehidupan anak. Selain itu,cover yang digunakan berwarna dan simple, ilustrasi gambar yang digunakan berwarna dan sesuai dengan maksud pesan yang ingin disampaikan penulis. Buku ini juga menggunakan ungkapan yang santun dengan bahasa yang komunikatif sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Kemudian, yang paling penting materi yang disampaikan sesuai dengan kehidupan nyata atau kehidupan sehari-hari, sehingga ketika membacanya mendapatkan “feel” tentang pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.
            Buku ini sangat cocok untuk orang tua dan guru, karena buku ini menjelaskan tentang kehidupan anak-anak dan memberikan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi anak. Akan tetapi, buku ini hanya cukup ideal untuk orang tua yang kategori sosial ekonominya dari menengah sampai ke atas yang biasanya tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan untuk orang tua yang masih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok nampaknya upaya-upaya untuk meningkatkan rasa percaya diri anak masih lemah. Maka dari itu, untuk kondisi orang tua yang seperti itu, diperlukanlah guru yang dapat meningkatkan rasa percaya diri anak sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh penulis.

Rabu, 02 April 2014

Mengambil Hati di Negeri Parung

Keringat yang menetes tak menghalangi terkembang sebuah senyuman dari bibirnya menuju sekolah tempat ia magang. Meski, kerap kali ia harus berjalan menerobos keramaian pasar dan mendengar hiruk pikuk kendaraan desa yang mondar mandir di jalanan pinggiran kota, ternyata tak membuatnya lelah untuk mengabdi kepada negara.

Athifah adalah sesosok guru magang di sebuah desa yang terletak di kecamatan parung, kabupaten Bogor, ia telah berjanji akan mendedikasikan hidupnya selama 1, 5 tahun ke depan untuk menjadi seorang “guru transformatife” yang merupakan salah satu binaan dari Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Usianya yang masih muda yaitu 23 tahun tak membuatnya mudah terpengaruh oleh dunia modernisasi saat ini yang mana sering kali terlihat anak muda sibuk dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri dan tak jarang juga anak muda lebih memilih zona nyaman ketimbang zona tantangan yang dipilih oleh Athifah.
Bagi Athifah, ia memilih untuk hidup bagaikan pohon bakau, daunnya yang rimbun dan rindang telah melindungi sebagian bumi dari panasnya sinar ultraviolet yang dipancarkan matahari, batang dan akarnya yang kuatpun sebagai perlindungan untuk makhluk-makhluk kecil yang berada di bawahnya. Hal itulah yang menyakini Athifah bahwa untuk menjadi sesosok guru itu tidak hanya mengajar, melainkan mendidik, memimpin, menginspirasi, dan melindungi anak didiknya dari kejamnya dunia.
Perjalananannya dimulai ketika pertama kali ia mendapatkan tugas magang di SD X selama 3 bulan. Di sekolah itu, ia difokuskan untuk mengajar anak kelas V.A yang jumlahnya 46 siswa. Baginya dengan jumlah anak didik sebanyak itu merupakan tantangan besar karena ia harus mampu memutar otaknya agar pembelajaran yang diberikan dapat diterima oleh semua anak. Akan tetapi, di antara keramaian anak, ada satu anak yang bernama Resa tak pernah kunjung ada di kelas, 3 hari Athifah sudah berada disana, anak itu tetap tidak pernah memunculkan dirinya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari informasi tentang anak itu.
Bermula dari rasa penasarannya tingkat tinggi dengan berbagai alasan yang ia dengar bahwa Resa tidak masuk sekolah hampir 2 bulan karena “malas”, sebuah alasan yang tidak masuk akal untuk seorang anak seusia itu. Meski seperti itu, sebelumnya pihak sekolah sudah berusaha untuk membuat Resa agar kembali ke sekolah dengan cara visit home dan memberikan bantuan berupa buku, sepatu, serta pakaian sebagai alat penunjang Resa untuk kembali belajar. Akan tetapi, hal itu hanya bertahan sebentar, Resa memang kembali ke sekolah, namun tak lama dari itu dia tak pernah lagi datang ke sekolah.
Kilas balik, Resa adalah satu-satunya anak laki-laki dari keluarga yang ekonominya rendah dengan Ibunya bekerja sebagai OB di Mall. Ibunya seorang diri harus menafkahkan ke empat anaknya yang masih duduk di sekolah sedangkan Ayahnya pergi meninggalkan mereka. Resa tinggal di sebuah rumah yang cukup kecil untuk dihuni 10 orang, yang mana itu rumah terdiri dari 2 keluarga besar yaitu keluarga Resa yang terdiri dari 5 orang dan keluarga uwaknya yang terdiri dari 5 orang juga. Selain itu, secara akademik, “Resa tergolong anak yang pintar”, tutur salah satu temannya. Hal itu telah Athifah buktikan ketika bertanya mengenai perkalian menggunakan 2 angka dan hasilnya sangat memuaskan, Resa cukup cepat menghitung tanpa harus mengorek di lembar kertas.  Begitulah mirisnya kehidupan anak seusia itu yang seharusnya dapat menikmati hari-harinya dengan bermain, belajar, mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya dan juga mendapatkan kepercayaan dari orang-orang sekitarnya, tetapi dia lebih memilih untuk tidak ingin ke sekolah dalam jangka waktu yang cukup lama.
Walaupun seperti itu, bukanlah hambatan bagi Athifah yang tetap berusaha untuk membuat Resa kembali ke sekolah. Athifah hanya menyakini bahwa semua anak pasti ingin sekolah yaitu bermain dan belajar bersama teman-temannya, hanya saja yang membedakan mereka di tempatkan dalam kondisi yang tidak beruntung.

Kunjungan pertama adalah kesan terbaik
Athifah berjalan menelusuri lorong-lorong kecil di antara padatnya rumah penduduk, tak lupa ia diiringi oleh anak didiknya yang juga ikut serta untuk menjenguk Resa. Sesampai di rumah Resa, ia hanya melihat sesosok Ibu tampak cukup tua yang merupakan Uwaknya Resa dan beliau menyambut Athifah sangat ramah. Dengan perasaan deg-degan, Athifah tak sabar ingin melihat Resa, anak yang telah dinantikannya sejak lama untuk hadir di kelas dan dapat mengikuti kembali pembelajaran seperti biasanya. Namun ternyata, Resa tak kunjung keluar dari kamarnya, berkali-kali Uwaknya memanggil Resa hanya ada balasan sahutan “Ya”, tanpa ada kemunculan wajahnya. Athifah pun khawatir, “apakah mungkin dia tidak ingin bertemu denganku?”, gumam Athifah saat itu. Selang beberapa menit, terdengar suara kaki yang berjalan dari ujung kamar, Athifah memandangnya tanpa ada satupun yang terlewatkan, “akhirnya Resa keluar juga”, tutur Athifah dalam hati. Perasaan bahagia begitu terlihat dari senyumnya Athifah, akan tetapi sesaat senyum itu memudar, Resa yang dia pandang hanya berjalan dengan menundukkan wajah, sesekali dia menengok ke depan dengan sorotan mata yang hambar, kosong dan tampak anak yang tidak memiliki tujuan. Selain itu, tubuhnya yang kecil dengan rambutnya yang dipotong ala “anak mohack” serta wajahnya yang manis, tak menampakkan sebuah senyuman sedikitpun, hanya ada wajah datar tanpa ekspresi.
“Assalammu’alaikum Resa, apa kabarnya?”, tanya Athifah
“Baik Bu!!”, jawab resa sambil wajah menunduk
“wajahnya menghadap ibu ya, seperti Ibu mau makan Resa saja”, ucap Athifah sambil tersenyum bercanda.
Resa pun memandang wajah Athifah, meski sekali-kali wajahnya tetap menunduk, tapi jika dilihat nampak sekilas terukir sebuah senyuman tipis yang menandakan dia ingin tertawa. Suasana yang tadinya tegang kini sedikit nyaman, Athifah mulai masuk ke pembicaraan inti, hanya saja pembicaraan ini cukup aneh untuk di dengar bagi Resa. Pembicaraan yang tadinya mungkin difikir Resa membahas tentang dirinya yang tidak pernah masuk sekolah, berubah menjadi pembicaraan yang menanyakan tentang aktivitas Resa selama tidak sekolah. Pembicaraan tersebut menuai hasil yang baik, Resa mulai sedikit membuka dirinya dengan menceritakan kalau dia setiap harinya bermain futsal di lapangan belakang mall dengan teman-temannya dan ternyata itu teman adalah anak-anak yang sudah putus sekolah. Hingga akhirnya sebuah kalimat terucap dari mulutnya Athifah, “ouw,,jadi Resa sering bermain dengan mereka ya, kalau gitu kapan-kapan Ibu boleh ikut bermain ya?”,  tanya Athifah sambil tersenyum. Tidak ada jawaban sama sekali, hanya ada anggukkan kepala Resa sambil tersenyum tipis.
Meskipun seperti itu, bukanlah akhir dari segalanya karena bagi Athifah kunjungan pertama hari ini sudah cukup mewakili indikator tujuan yang ingin dicapai yaitu berkenalan dengan Resa dan mengetahui dunianya selama tidak masuk sekolah. Kunjungan ini diakhiri dengan kalimat, “Ibu kesini tidak ingin memaksa Resa untuk sekolah, akan tetapi yang ibu inginkan adalah Resa datang ke sekolah karena kemauan Resa sendiri. Maka dari itu, besok Ibu tunggu di sekolah dan kita bermain bersama”, tutur Athifah sambil tersenyum.

Ambil hatinya melalui hobbynya
            Sabtu, 28 Februari 2014 adalah hari yang ditunggu, seperti biasanya untuk menuju sekolah magang Athifah harus berjalan sekitar 10 menit, meski kerap kali tetesan keringat bercucuran dari wajahnya, ternyata hal itu tak membuatnya lelah, tetapi membuatnya semakin semangat karena di hari ini ia berharap bisa bertemu lagi dengan Resa. Sesampai di sekolah, mata Athifah tak hentinya mencari sosok Resa, tapi ternyata sosok itu tak pernah ada, hingga akhirnya Athifah pasrah dan melupakan apa yang menjadi harapannya di hari ini, tersirat rasa kekecewaan menyelimutinya di saat itu, semangatnya yang tadi berkobar kini mulai memudar dan wajahnya yang penuh dengan senyuman sedikit mulai redup.
            Sesaat waktu berlalu, di antara lamunan Athifah sambil membantu anak-anak untuk persiapan pramuka, tiba-tiba terdengar jeritan salah satu anak didiknya “Ibu. Resanya datang”. Mendengar hal itu, membuat Athifah seperti mendapatkan sesuatu yang sangat luar biasa, perasaannya sangat bergejolak antara bahagia tetapi terharu hingga saat Resa sudah di depan matanya dan mulai mengulurkan tangannya untuk salam, Athifah tak mampu berbicara apapun, yang ada hanya tatapan penuh arti sambil menerima salam hangat dari Resa.
            Anak-anak kelas 4 dan 5 mulai membuat barisan berbentuk lingkaran di lapangan belakang mall sesuai dengan intruksi dari pembina pramuka, Athifah hanya membantu untuk mentertibkan anak-anak dan sesekali sambil memfotoi setiap aktivitas mereka, tiba-tiba mata Athifah terhenti ketika melihat Resa yang berbaris bersama anak kelas 4, bahkan ketika mengerjakan tugas pramuka berkelompok, Resa juga bersama anak kelas 4. Kejadian ini menyakini Athifah bahwa Resa mulai menarik diri dari lingkungan teman sekelasnya, “ini tidak baik bagi Resa, apa yang harus dilakukan?”, gumam Athifah. Dengan berfikir cepat, Athifah meminta beberapa teman sekelasnya untuk mengajak Resa bermain bersama dan hal itu ditanggapi dengan baik oleh teman-temannya.
            Sepulang dari sekolah, anak-anak mengajak Athifah untuk bermain futsal di hidroponik, tempat yang tak pernah Athifah kunjungi sama sekali. Mendapat tawaran itu, membuat Athifah sangat senang karena ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mengetahui karakter anak didiknya ketika di luar sekolah, tetapi sebelum itu ia harus ke sekolah terlebih dahulu untuk mengurusi kerjaannya yang belum selesai.
            Terdengar suara ketika Athifah berjalan menuju sekolah, “Ibu, katanya mau bermain bersama?”, tutur Resa. Anak yang dari tadi hanya diam saja, ternyata menagih janji Athifah kepadanya ketika berkunjung kerumahnya. “tentu, Ibu akan main, nanti Ibu nyusul kesana ditemani Dean”, jawab Athifah sambil tersenyum. Athifah tidak menyangka, ternyata Resa masih mengingat pembicaraan kemarin, ini berarti semua yang dikatakan Athifah di dengar oleh Resa, “langkah awal yang bagus”, gumam Athifah
            Athifah dan Dean berjalan bersama menuju Hidroponik, sesekali Athifah bertanya mengenai jalan yang mereka telusuri dan Dean pun menjelaskannya dengan sempurna. Athifah juga bertanya tentang pendapat Dean mengenai Resa, alhasil Athifah mendapatkan informasi yang tak disangka yaitu Resa adalah pemain futsal terbaik nomor 2 di Tim Bekisar Merah. Tim Bekisar Merah merupakan tim futsal yang dibentuk dari gabungan siswa SD X dan SD Y yang rumahnya tinggal dalam lingkungan RT yang sama. Dalam hal ini, ada 3 anak didik Athifah yang tergabung di tim tersebut yaitu Melgi, Dean dan Resa. Tim ini sudah beberapa kali memenangkan pertandingan antar RT, sehingga namanya cukup terkenal di kalangan siswa. Akan tetapi, sudah beberapa bulan ini tim bekisar merah kehilangan sesosok pemain yang handal yaitu Resa.
Menurut Dean, “Resa sudah tidak ikut latihan lagi karena dia tidak mempunyai pakaian ini (sambil menunjukkan kostum yang dipakainya), padahal pelatih tidak terlalu memaksa untuk menggunakannya jika belum punya uang”, tutur Dean
“berapa harga pakaiannya?”, tanya Athifah
“85 ribu Bu, tapi Resa sudah bayar 5 ribu”, jawab Dean
“oklah, kapan kalian latihan lagi?”, tanya Athifah dengan penuh penasaran
“besok Bu, minggu pagi biasanya jam 7 di lapangan belakang mall”. Jawab Dean
“ouw, besok pagi kita bertemu lagi ya”, tutur Athifah sambil tersenyum
            Percakapan Athifah dan Dean terhenti seketika karena mereka sudah sampai di Hidroponik, tempat yang sangat indah, di dalamnya banyak sekali tanaman sayur yang dibudidayakan melalui hidroponik, tidak hanya itu tanaman hias pun ada seperti anggrek dan di depannya terdapat lapangan futsal beserta masjid. Disinilah tempat Athifah dan anak didiknya mulai ada kedekatan hati, Athifah mengamati setiap aktivitas yang dilakukan anak didiknya ketika bermain futsal, sungguh terlihat kebahagiaan yang tersirat di wajah mereka, tampak sekali mereka sangat bebas dalam berkreativitas. “Hari ini aku tidak hanya mengambil hati Resa, tetapi aku juga mengambil hati semua anak didikku”, gumam Athifah sambil tersenyum dengan senang.

Tim Bekisar Merah
            Dengan langkah yang cepat, sesegera mungkin Athifah pergi menuju lapangan belakang mall pukul 7 pagi. Perjalanan kesana hanya naik angkot sekali dan berjalan 10 menit. Sesampainya, Athifah tak menemukan siapapun hanya ada lapangan kosong nan sepi. Athifah kebingungan, hingga ia memutar kesana kemari di sekitar rumah penduduk, entah apa yang dipikirkan penduduk disaat itu, yang terpenting baginya memastikan apakah hari ini ada anak-anak yang latihan futsal. Akhirnya di ujung lorong rumah penduduk, terdapat sekumpulan anak-anak yang menggunakan kostum berwarna merah bersepatu olahraga sedang bersiap-siap menuju lapangan futsal. Hal itu membuat Athifah sangat senang karena hari ini tidak ada yang sia-sia.
            Athifah menemui pelatih tim bekisar merah yang bernama Handoiy. yang sebelumnya telah dimediasi oleh Melgi dan Dean. Pertemuan tersebut hanya sebentar, Athifah menanyakan beberapa pertanyaan tentang Resa selama di tim, ternyata info yang di dapat Athifah akurat dengan apa yang diceritakan Handoiy. Sehingga, Athifah meminta bantuan Handoiy untuk juga mengsupport Resa agar dapat bersekolah kembali. Selain itu, Athifah menebus kostum futsal Resa yang nantinya akan diberikan kepada Resa.
            Dengan perasaan yang bergelora, Athifah berjalan menelusuri lorong-lorong kecil menuju rumah Resa karena ia tak sabar untuk memberikan kejutan kepada Resa mengenai kostum yang dibawanya. Sesampai disana, Athifah bertemu dengan Ibu Resa untuk pertama kalinya, mereka bercengkrama mengenai kondisi Resa. Akhirnya Resa muncul dengan wajah yang kusut seperti baru bangun tidur. Seperti biasanya, Athifah menyapa Resa dengan semangat dan mengajak Resa untuk latihan futsal di lapangan karena pelatih dan timnya telah menunggu Resa. Akan tetapi, respon Resa hanya diam saja dan dia mengatakan tidak mau karena capek. Athifah cukup lama membujuk Resa untuk ikut latihan, padahal Athifah tahu bahwa Resa pun pasti menginginkannya, hanya saja ada sesuatu yang menahan dia yaitu rasa minder yang bergejolak. Athifah tetap berusaha membujuk Resa bahkan Ibunya pun mendukung Athifah. Namun, hasil bujukkan Athifah tidak dapat mengubah pendirian Resa, dia tetap duduk diam dan tak berkutik sedikitpun dari tempat duduknya bahkan wajahnya menunjukkan kekesalan sambil berkata “saya tidak lagi latihan disana”, ungkap Resa yang tak lama dari itu wajahnya berubah menjadi sedih.
            Melihat itu, Athifah memberikan sebuah kantong hitam kecil kepada Resa sambil berkata “ coba Resa lihat dulu, mungkin akan merubah pikiran”. Perlahan-lahan Resa mulai membukanya, tiba-tiba ekspresinya yang sedih berubah menjadi ceria, secerca senyuman kebahagiaan terukir di wajahnya..ya sebuah kostum merah yang bertuliskan Resa dengan nomor 13 telah mengubah suasana di hari itu. Ia berjalan dengan cepat menuju kamar untuk sesegera mungkin mengganti pakaiannya dan tak lupa sepatu olahraga ikut menyelimuti kakinya, tanpa sadar Resa telah melupakan perkataan yang telah diucapkannya.
            Kejadian itu sungguh membuah Athifah terharu, tanpa sadar matanya berbinar menahan air mata yang hampir saja keluar dari peraduannya, bukan karena Resa ingin ikut latihan, tapi karena perubahan ekspresi wajahnya. Ekspresi wajah yang sudah lama di tunggu-tunggu, senyuman yang tulus, dan mata yang berbinar sungguh sangat dirindukan Athifah. Kini wajah yang dulu bagaikan kegelapan tanpa senyuman, mata yang hambar, kata-kata yang ketus dalam sekejap semua sirna tanpa bekas. Ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa menatapnya penuh arti dan sebuah harapan “Resa, raihlah mimpimu dengan apa yang kamu suka, tapi bukan berarti dengan tidak bersekolah”, gumam Athifah dalam hati.
            Athifah dan Resa berjalan menuju lapangan futsal, sesekali Athifah memandang Resa sambil bertanya, “Resa, apa cita-citanya?”. Dengan menampakkan wajah yang begitu  bahagia dan penuh kepercayaan diri, Resa menjawab “ingin jadi pemain futsal terbaik, Bu”.
“wagh bagus itu, jika Resa malas ke sekolah ingatlah kostum yang Resa pakai ya”, tutur Athifah sambil tersenyum. “terima kasih Bu”, jawab Resa. Sebuah perkataan yang tak sangka keluar dari mulut Resa, saat itu terucap dengan sebuah senyuman yang tulus
            Athifah dan Resa melangkah di setiap jalan setapak di antara lorong-lorong kecil yang sekitarnya di kelilingi dinding-dinding rumah penduduk, langkah kami terhenti tepat di sebuah tembok terbuka penghubung rumah penduduk dengan lingkungan Mall Ramayana, tiba-tiba Resa hanya menatap lurus ke depan tanpa bergerak sedikitpun seolah-olah mata dan hatinya memanggil dirinya untuk sesegera mungkin ke lapangan, akan tetapi kakinya seperti tak ingin melangkah. Hingga terdengar suara yang sangat menggelegar dari kejauhan yang memenuhi setiap sudut lapangan, “Itu Resa, ayo cepat kesini”, teriak anak-anak tim bekisar merah. Tampak resa berjalan perlahan-lahan, mungkin menahan malu karena telah lama tak kunjung untuk latihan futsal, tapi dengan semangat teman-temannya yang menyambut Resa dengan hangat, telah membuat Resa untuk kembali percaya diri. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan bagi Resa dan Athifah, pertemuan mereka di akhiri dengan sebuah senyuman kebahagiaan yang ditampakkan Resa ketika berlari-lari mengelilingi lapangan.

Keraguan Awal dari Keyakinan
            Rasa bahagia menyelimuti Athifah, tak henti-hentinya ia tersenyum dan berharap sesegera mungkin waktu cepat berlalu karena Athifah tak sabar lagi ke sekolah untuk melihat Resa yang dapat mengikuti pembelajaran lagi di kelas. Hingga tibalah waktu yang ditunggu setelah melalui 4 hari siswa libur karena kelas 6 Try Out, dengan perasaan yang begitu semangat, Athifah berjalan dengan cepatnya, tanpa sadar ia melupakan kedua temannya yang berada di belakang dirinya.
            Namun, sesaat tiba di kelas, hanya ada tarikkan napas yang cukup dalam seakan-akan sesuatu hal besar telah membuatnya kecewa…. Ya..orang yang ia harapkan tak ada di dalam kelas. Di hari itu, Athifah nampak murung, usaha yang telah ia lakukan, ternyata tidak membuat Resa untuk kembali ke sekolah. “cara apalagi yang harus aku lakukan?”, gumam Athifah. Walau seperti itu, Athifah tetap berusaha untuk membuat Resa kembali ke sekolah, meski terkadang ia harus mengorbankan waktunya untuk menemui Resa.
Sepulang sekolah, Athifah berkunjung lagi ke rumah Resa, untuk kali ini ia pergi sendirian tanpa ditemani anak didiknya yang lain. Sesampai disana, Athifah tidak menemui Resa hanya ada adiknya yang sedang mengasuh adiknya yang kecil.. Athifah mendapat info dari adiknya kalau Resa bermain futsal di lapangan. Dengan sigapnya, Athifah menuju lapangan futsal dan ternyata tidak ada siapapun disana hanya ada tanah kosong tak bertuan. Athifah tetap menelusuri setiap jalan di sekitar rumah penduduk berharap ia bisa bertemu dengan Resa. Ia mencari Resa di antara keramaian Mall Ramayana karena info yang pernah ia dapat, Resa sering bermain disana, tetapi anak itu tetap tidak ada disana. Hingga akhirnya, ia tidak sengaja bertemu dengan Ibunya Resa yang sedang bekerja di mall. Berdasarkan pengakuan Ibunya, Resa tidak ke sekolah karena rambutnya yang belum dipotong.
Mendengar hal itu, membuat Athifah benar-benar frustasi, “padahal sudah libur 4 hari, itu waktu yang cukup lama untuk bisa memotong rambut”, gerutu Athifah dalam hati. Ada perasaan kecewa yang menyelimutinya dan terbesit sebuah keraguan kepada Resa, “apakah yang aku lakukan ini akan berakhir sampai disini!!”, begitulah pemikiran Athifah saat itu. Namun, Athifah tetap mencari Resa meski beberapa kali ia salah masuk lorong. Hal itu tidak membuatnya lelah dibandingkan dengan apa yang dipikirkannya, “aku hanya ingin menuntaskan semua keraguanku atas Resa”, gumam Athifah. Dengan semua usahanya, akhirnya Athifah berhasil bertemu dengan Resa yang sedang bermain bersama teman-temannya di tempat PS.
Athifah cukup lama menunggu Resa karena Resa belum keluar dari ruangannya, “apakah mungkin dia gerah denganku yang selalu menemuinya”, pikir Athifah saat itu. Tak lama dari itu, kehadiran Resa membuat Athifah sangat kaget. Anak yang berada di depannya, kini sedang menggunakan kostum yang pernah Athifah berikan, “apakah begitu bahagianya Resa ketika telah menggunakan kostum tersebut? Aku sangat senang jika Resa bahagia dengan kostumnya, akan tetapi di sisi lain bukan itu yang kuharapkan”, guman Athifah. Ada perasaan kecewa yang menyerang Athifah, ia pun mulai mengatur nafas agar sedikit demi sedikit dapat menghilangkan perasaan seperti itu ketika berbicara dengan Resa.
Pembicaraan Athifah dan Resa cukup lama, meski terkadang ada keheningan di antara mereka. Athifah hanya memastikan alasan Resa tidak sekolah, ternyata jawaban Resa  sama dengan pengakuan Ibunya. Walau seperti itu, Athifah tidak ingin cepat mengambil kesimpulan atas diri Resa, mungkin Resa hanya butuh waktu untuk mulai mengadaptasikan diri terhadap lingkungan sekolah, apalagi ketika di sekolah Resa merasa minder dengan teman-temannya. Athifah hanya menyakini diri, setiap usaha tidak ada yang sia-sia, hingga akhirnya Athifah berkata “Resa, tadi Ibu kesasar mencari Resa karena tidak tahu jalan, tapi Alhamdulillah ada Harnum yang bantu ibu. Tadi Ibu cukup lama berkeliling dari rumah, lapangan futsal, Ramayana dan akhirnya bertemu disini”, tutur Athifah sambil tersenyum. Resa hanya membalas dengan ekspresi diam, tapi sedikit tersenyum. Hal itu membuat Athifah bingung harus mengatakan apa lagi, Athifah takut apa yang dikatakan tidak memotivasinya ke sekolah, Athifah takut apa yang dikatakan tidak di dengarnya. Perasaan seperti itu berkecamuk di dalam hati dan sangat membuat Athifah frustasi. Pada akhirnya, sebuah cerita yang tidak ingin diungkapkan Athifah ke anak didiknya  merupakan solusi terakhir untuk memecahkan keheningan yang membuat sesak sekaligus sebagai penutup pembicataan antara Athifah dan Resa,
 “Resa mau mendengarkan cerita Ibu?”, tanya Athifah,
“Iya Bu”, jawab Resa
“Dulu ketika Ibu masih seusia Resa, Ibu pernah mengalami kondisi yang hampir sama dengan Resa. Ibu pernah ingin berhenti sekolah karena Ibu dulu sering digangguin teman sekelas. Tetapi, meski itu keinginan Ibu, bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah. Lari dari masalah bukan cara terbaik”, ungkap Athifah dengan serius.

Prajurit Penyelamat Kelas
            Keraguan Athifah tidak membuat dia menyerah untuk mengembalikan semangat Resa agar kembali ke sekolah. Athifah tetap memikirkan cara-cara lain sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi Resa karena ia tetap yakin bahwa Resa pasti ingin kembali bersekolah, hingga akhirnya sebuah ide yang muncul ketika perjalanan menuju sekolah magang telah membuka kisah baru. “Resa sudah tidak bersekolah hampir 2 bulan, secara psikologi, ia akan mengalami rasa minder yang bergejolak jika bertemu dengan teman-temannya. Maka dari itu, yang bisa menyelesaikan masalah Resa adalah teman-temannya sendiri”, gumam Athifah.
            Dengan sigapnya, Athifah segera mengumpulkan anak didiknya yang memiliki pengaruh besar di dalam kelas sekaligus yang berhubungan dengan Resa ketika di luar sekolah. Di antara keramaian siswa di sekolah, Athifah meminta Dean, Melgi, Ade, Iqbal, Putri dan Diva untuk kumpul di ruang perpustakaan. Athifah memberikan pengarahan kepada mereka dengan menceritakan kondisi Resa serta menganalogikan kepada mereka jika mereka berada di posisi Resa, ternyata hasilnya sangat luar biasa, mereka menjawab sesuai dengan apa yang Athifah fikirkan yaitu minder.  
“ kalian ini adalah tim prajurit penyelamat kelas, sedangkan ibu adalah komandannya. Jadi untuk misi pertama kalian adalah menyelamatkan Resa agar mau sekolah lagi”, ungkap Athifah sambil bersemangat.
“maksudnya seperti apa Bu?”, tanya Dean
“seperti ini, sering nonton film peperangan??. Nah, kalian diposisikan sebagai prajurit yang akan melaksanakan misi dari komandan. Caranya, kalian kan posisi rumah cukup dekat dengan Resa. Jadi, sebelum menuju ke sekolah, jemput Resa dulu, ok”, tutur Athifah dengan senyuman
“oooo”, jawab prajurit penyelamat kelas secara serentak
Athifah begitu bahagia karena rencana yang mendadak telah menuai tanggapan yang baik, “semoga ini solusi terakhir untuk menyelamatkan Resa.”, gumam Athifah dalam hati.
            Seperti biasanya, Athifah berjalan di antara keramaian pasar hendak menuju sekolah, sesekali ia tetap memikirkan Resa, “apakah hari ini ia bersekolah?”, gumam Athifah. Pintu gerbang di depan sekolah telah terbuka dengan lebar seolah-olah menyambut Athifah dengan semangatnya, tak lupa anak-anak yang berlari-lari kecil sembari mendekati Athifah hanya untuk memberi salam kepadanya. Sungguh indah pemandangan di pagi hari, ditemani cerahnya sinar matahari dan gemerlap candaan anak-anak didiknya telah membuat suasana di hari itu lebih bermakna. Sambil menunggu Pembina pramuka, Athifah mengajak anak didiknya untuk bermain bersama di lapangan, tetapi ada 2 siswa yang biasanya datang lebih awal, di hari itu mereka belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Tak lama dari itu, terdengar suara dari kejauhan di dekat pagar, “Ibu, ini Resa” jerit Dean dan Melgi sambil menarik Resa untuk masuk ke sekolah. Melihat itu, sebuah senyuman terukir di wajah Athifah, “hari ini ada dua kebahagiaan terbesar yang ku terima; pertama Resa sudah kembali ke sekolah dan kedua Dean & Melgi telah menjalankan tugasnya sebagai prajurit penyelamat kelas, apalagi  Dean dan Melgi telah membuat diri mereka datang terlambat ke sekolah, bukan karena mereka malas tetapi karena menjemput Resa di rumah, sungguh perbuatan yang sangat luar biasa ”, gumam Athifah.. “Pada dasarnya semua anak itu baik, hanya saja yang membedakan mereka adalah bagaimana lingkungan yang mendidik mereka. Jika anak di arahkan menuju kebaikkan, maka anak itu pun akan berjalan dalam kebaikan”