Rabu, 02 April 2014

Mengambil Hati di Negeri Parung

Keringat yang menetes tak menghalangi terkembang sebuah senyuman dari bibirnya menuju sekolah tempat ia magang. Meski, kerap kali ia harus berjalan menerobos keramaian pasar dan mendengar hiruk pikuk kendaraan desa yang mondar mandir di jalanan pinggiran kota, ternyata tak membuatnya lelah untuk mengabdi kepada negara.

Athifah adalah sesosok guru magang di sebuah desa yang terletak di kecamatan parung, kabupaten Bogor, ia telah berjanji akan mendedikasikan hidupnya selama 1, 5 tahun ke depan untuk menjadi seorang “guru transformatife” yang merupakan salah satu binaan dari Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Usianya yang masih muda yaitu 23 tahun tak membuatnya mudah terpengaruh oleh dunia modernisasi saat ini yang mana sering kali terlihat anak muda sibuk dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri dan tak jarang juga anak muda lebih memilih zona nyaman ketimbang zona tantangan yang dipilih oleh Athifah.
Bagi Athifah, ia memilih untuk hidup bagaikan pohon bakau, daunnya yang rimbun dan rindang telah melindungi sebagian bumi dari panasnya sinar ultraviolet yang dipancarkan matahari, batang dan akarnya yang kuatpun sebagai perlindungan untuk makhluk-makhluk kecil yang berada di bawahnya. Hal itulah yang menyakini Athifah bahwa untuk menjadi sesosok guru itu tidak hanya mengajar, melainkan mendidik, memimpin, menginspirasi, dan melindungi anak didiknya dari kejamnya dunia.
Perjalananannya dimulai ketika pertama kali ia mendapatkan tugas magang di SD X selama 3 bulan. Di sekolah itu, ia difokuskan untuk mengajar anak kelas V.A yang jumlahnya 46 siswa. Baginya dengan jumlah anak didik sebanyak itu merupakan tantangan besar karena ia harus mampu memutar otaknya agar pembelajaran yang diberikan dapat diterima oleh semua anak. Akan tetapi, di antara keramaian anak, ada satu anak yang bernama Resa tak pernah kunjung ada di kelas, 3 hari Athifah sudah berada disana, anak itu tetap tidak pernah memunculkan dirinya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari informasi tentang anak itu.
Bermula dari rasa penasarannya tingkat tinggi dengan berbagai alasan yang ia dengar bahwa Resa tidak masuk sekolah hampir 2 bulan karena “malas”, sebuah alasan yang tidak masuk akal untuk seorang anak seusia itu. Meski seperti itu, sebelumnya pihak sekolah sudah berusaha untuk membuat Resa agar kembali ke sekolah dengan cara visit home dan memberikan bantuan berupa buku, sepatu, serta pakaian sebagai alat penunjang Resa untuk kembali belajar. Akan tetapi, hal itu hanya bertahan sebentar, Resa memang kembali ke sekolah, namun tak lama dari itu dia tak pernah lagi datang ke sekolah.
Kilas balik, Resa adalah satu-satunya anak laki-laki dari keluarga yang ekonominya rendah dengan Ibunya bekerja sebagai OB di Mall. Ibunya seorang diri harus menafkahkan ke empat anaknya yang masih duduk di sekolah sedangkan Ayahnya pergi meninggalkan mereka. Resa tinggal di sebuah rumah yang cukup kecil untuk dihuni 10 orang, yang mana itu rumah terdiri dari 2 keluarga besar yaitu keluarga Resa yang terdiri dari 5 orang dan keluarga uwaknya yang terdiri dari 5 orang juga. Selain itu, secara akademik, “Resa tergolong anak yang pintar”, tutur salah satu temannya. Hal itu telah Athifah buktikan ketika bertanya mengenai perkalian menggunakan 2 angka dan hasilnya sangat memuaskan, Resa cukup cepat menghitung tanpa harus mengorek di lembar kertas.  Begitulah mirisnya kehidupan anak seusia itu yang seharusnya dapat menikmati hari-harinya dengan bermain, belajar, mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya dan juga mendapatkan kepercayaan dari orang-orang sekitarnya, tetapi dia lebih memilih untuk tidak ingin ke sekolah dalam jangka waktu yang cukup lama.
Walaupun seperti itu, bukanlah hambatan bagi Athifah yang tetap berusaha untuk membuat Resa kembali ke sekolah. Athifah hanya menyakini bahwa semua anak pasti ingin sekolah yaitu bermain dan belajar bersama teman-temannya, hanya saja yang membedakan mereka di tempatkan dalam kondisi yang tidak beruntung.

Kunjungan pertama adalah kesan terbaik
Athifah berjalan menelusuri lorong-lorong kecil di antara padatnya rumah penduduk, tak lupa ia diiringi oleh anak didiknya yang juga ikut serta untuk menjenguk Resa. Sesampai di rumah Resa, ia hanya melihat sesosok Ibu tampak cukup tua yang merupakan Uwaknya Resa dan beliau menyambut Athifah sangat ramah. Dengan perasaan deg-degan, Athifah tak sabar ingin melihat Resa, anak yang telah dinantikannya sejak lama untuk hadir di kelas dan dapat mengikuti kembali pembelajaran seperti biasanya. Namun ternyata, Resa tak kunjung keluar dari kamarnya, berkali-kali Uwaknya memanggil Resa hanya ada balasan sahutan “Ya”, tanpa ada kemunculan wajahnya. Athifah pun khawatir, “apakah mungkin dia tidak ingin bertemu denganku?”, gumam Athifah saat itu. Selang beberapa menit, terdengar suara kaki yang berjalan dari ujung kamar, Athifah memandangnya tanpa ada satupun yang terlewatkan, “akhirnya Resa keluar juga”, tutur Athifah dalam hati. Perasaan bahagia begitu terlihat dari senyumnya Athifah, akan tetapi sesaat senyum itu memudar, Resa yang dia pandang hanya berjalan dengan menundukkan wajah, sesekali dia menengok ke depan dengan sorotan mata yang hambar, kosong dan tampak anak yang tidak memiliki tujuan. Selain itu, tubuhnya yang kecil dengan rambutnya yang dipotong ala “anak mohack” serta wajahnya yang manis, tak menampakkan sebuah senyuman sedikitpun, hanya ada wajah datar tanpa ekspresi.
“Assalammu’alaikum Resa, apa kabarnya?”, tanya Athifah
“Baik Bu!!”, jawab resa sambil wajah menunduk
“wajahnya menghadap ibu ya, seperti Ibu mau makan Resa saja”, ucap Athifah sambil tersenyum bercanda.
Resa pun memandang wajah Athifah, meski sekali-kali wajahnya tetap menunduk, tapi jika dilihat nampak sekilas terukir sebuah senyuman tipis yang menandakan dia ingin tertawa. Suasana yang tadinya tegang kini sedikit nyaman, Athifah mulai masuk ke pembicaraan inti, hanya saja pembicaraan ini cukup aneh untuk di dengar bagi Resa. Pembicaraan yang tadinya mungkin difikir Resa membahas tentang dirinya yang tidak pernah masuk sekolah, berubah menjadi pembicaraan yang menanyakan tentang aktivitas Resa selama tidak sekolah. Pembicaraan tersebut menuai hasil yang baik, Resa mulai sedikit membuka dirinya dengan menceritakan kalau dia setiap harinya bermain futsal di lapangan belakang mall dengan teman-temannya dan ternyata itu teman adalah anak-anak yang sudah putus sekolah. Hingga akhirnya sebuah kalimat terucap dari mulutnya Athifah, “ouw,,jadi Resa sering bermain dengan mereka ya, kalau gitu kapan-kapan Ibu boleh ikut bermain ya?”,  tanya Athifah sambil tersenyum. Tidak ada jawaban sama sekali, hanya ada anggukkan kepala Resa sambil tersenyum tipis.
Meskipun seperti itu, bukanlah akhir dari segalanya karena bagi Athifah kunjungan pertama hari ini sudah cukup mewakili indikator tujuan yang ingin dicapai yaitu berkenalan dengan Resa dan mengetahui dunianya selama tidak masuk sekolah. Kunjungan ini diakhiri dengan kalimat, “Ibu kesini tidak ingin memaksa Resa untuk sekolah, akan tetapi yang ibu inginkan adalah Resa datang ke sekolah karena kemauan Resa sendiri. Maka dari itu, besok Ibu tunggu di sekolah dan kita bermain bersama”, tutur Athifah sambil tersenyum.

Ambil hatinya melalui hobbynya
            Sabtu, 28 Februari 2014 adalah hari yang ditunggu, seperti biasanya untuk menuju sekolah magang Athifah harus berjalan sekitar 10 menit, meski kerap kali tetesan keringat bercucuran dari wajahnya, ternyata hal itu tak membuatnya lelah, tetapi membuatnya semakin semangat karena di hari ini ia berharap bisa bertemu lagi dengan Resa. Sesampai di sekolah, mata Athifah tak hentinya mencari sosok Resa, tapi ternyata sosok itu tak pernah ada, hingga akhirnya Athifah pasrah dan melupakan apa yang menjadi harapannya di hari ini, tersirat rasa kekecewaan menyelimutinya di saat itu, semangatnya yang tadi berkobar kini mulai memudar dan wajahnya yang penuh dengan senyuman sedikit mulai redup.
            Sesaat waktu berlalu, di antara lamunan Athifah sambil membantu anak-anak untuk persiapan pramuka, tiba-tiba terdengar jeritan salah satu anak didiknya “Ibu. Resanya datang”. Mendengar hal itu, membuat Athifah seperti mendapatkan sesuatu yang sangat luar biasa, perasaannya sangat bergejolak antara bahagia tetapi terharu hingga saat Resa sudah di depan matanya dan mulai mengulurkan tangannya untuk salam, Athifah tak mampu berbicara apapun, yang ada hanya tatapan penuh arti sambil menerima salam hangat dari Resa.
            Anak-anak kelas 4 dan 5 mulai membuat barisan berbentuk lingkaran di lapangan belakang mall sesuai dengan intruksi dari pembina pramuka, Athifah hanya membantu untuk mentertibkan anak-anak dan sesekali sambil memfotoi setiap aktivitas mereka, tiba-tiba mata Athifah terhenti ketika melihat Resa yang berbaris bersama anak kelas 4, bahkan ketika mengerjakan tugas pramuka berkelompok, Resa juga bersama anak kelas 4. Kejadian ini menyakini Athifah bahwa Resa mulai menarik diri dari lingkungan teman sekelasnya, “ini tidak baik bagi Resa, apa yang harus dilakukan?”, gumam Athifah. Dengan berfikir cepat, Athifah meminta beberapa teman sekelasnya untuk mengajak Resa bermain bersama dan hal itu ditanggapi dengan baik oleh teman-temannya.
            Sepulang dari sekolah, anak-anak mengajak Athifah untuk bermain futsal di hidroponik, tempat yang tak pernah Athifah kunjungi sama sekali. Mendapat tawaran itu, membuat Athifah sangat senang karena ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mengetahui karakter anak didiknya ketika di luar sekolah, tetapi sebelum itu ia harus ke sekolah terlebih dahulu untuk mengurusi kerjaannya yang belum selesai.
            Terdengar suara ketika Athifah berjalan menuju sekolah, “Ibu, katanya mau bermain bersama?”, tutur Resa. Anak yang dari tadi hanya diam saja, ternyata menagih janji Athifah kepadanya ketika berkunjung kerumahnya. “tentu, Ibu akan main, nanti Ibu nyusul kesana ditemani Dean”, jawab Athifah sambil tersenyum. Athifah tidak menyangka, ternyata Resa masih mengingat pembicaraan kemarin, ini berarti semua yang dikatakan Athifah di dengar oleh Resa, “langkah awal yang bagus”, gumam Athifah
            Athifah dan Dean berjalan bersama menuju Hidroponik, sesekali Athifah bertanya mengenai jalan yang mereka telusuri dan Dean pun menjelaskannya dengan sempurna. Athifah juga bertanya tentang pendapat Dean mengenai Resa, alhasil Athifah mendapatkan informasi yang tak disangka yaitu Resa adalah pemain futsal terbaik nomor 2 di Tim Bekisar Merah. Tim Bekisar Merah merupakan tim futsal yang dibentuk dari gabungan siswa SD X dan SD Y yang rumahnya tinggal dalam lingkungan RT yang sama. Dalam hal ini, ada 3 anak didik Athifah yang tergabung di tim tersebut yaitu Melgi, Dean dan Resa. Tim ini sudah beberapa kali memenangkan pertandingan antar RT, sehingga namanya cukup terkenal di kalangan siswa. Akan tetapi, sudah beberapa bulan ini tim bekisar merah kehilangan sesosok pemain yang handal yaitu Resa.
Menurut Dean, “Resa sudah tidak ikut latihan lagi karena dia tidak mempunyai pakaian ini (sambil menunjukkan kostum yang dipakainya), padahal pelatih tidak terlalu memaksa untuk menggunakannya jika belum punya uang”, tutur Dean
“berapa harga pakaiannya?”, tanya Athifah
“85 ribu Bu, tapi Resa sudah bayar 5 ribu”, jawab Dean
“oklah, kapan kalian latihan lagi?”, tanya Athifah dengan penuh penasaran
“besok Bu, minggu pagi biasanya jam 7 di lapangan belakang mall”. Jawab Dean
“ouw, besok pagi kita bertemu lagi ya”, tutur Athifah sambil tersenyum
            Percakapan Athifah dan Dean terhenti seketika karena mereka sudah sampai di Hidroponik, tempat yang sangat indah, di dalamnya banyak sekali tanaman sayur yang dibudidayakan melalui hidroponik, tidak hanya itu tanaman hias pun ada seperti anggrek dan di depannya terdapat lapangan futsal beserta masjid. Disinilah tempat Athifah dan anak didiknya mulai ada kedekatan hati, Athifah mengamati setiap aktivitas yang dilakukan anak didiknya ketika bermain futsal, sungguh terlihat kebahagiaan yang tersirat di wajah mereka, tampak sekali mereka sangat bebas dalam berkreativitas. “Hari ini aku tidak hanya mengambil hati Resa, tetapi aku juga mengambil hati semua anak didikku”, gumam Athifah sambil tersenyum dengan senang.

Tim Bekisar Merah
            Dengan langkah yang cepat, sesegera mungkin Athifah pergi menuju lapangan belakang mall pukul 7 pagi. Perjalanan kesana hanya naik angkot sekali dan berjalan 10 menit. Sesampainya, Athifah tak menemukan siapapun hanya ada lapangan kosong nan sepi. Athifah kebingungan, hingga ia memutar kesana kemari di sekitar rumah penduduk, entah apa yang dipikirkan penduduk disaat itu, yang terpenting baginya memastikan apakah hari ini ada anak-anak yang latihan futsal. Akhirnya di ujung lorong rumah penduduk, terdapat sekumpulan anak-anak yang menggunakan kostum berwarna merah bersepatu olahraga sedang bersiap-siap menuju lapangan futsal. Hal itu membuat Athifah sangat senang karena hari ini tidak ada yang sia-sia.
            Athifah menemui pelatih tim bekisar merah yang bernama Handoiy. yang sebelumnya telah dimediasi oleh Melgi dan Dean. Pertemuan tersebut hanya sebentar, Athifah menanyakan beberapa pertanyaan tentang Resa selama di tim, ternyata info yang di dapat Athifah akurat dengan apa yang diceritakan Handoiy. Sehingga, Athifah meminta bantuan Handoiy untuk juga mengsupport Resa agar dapat bersekolah kembali. Selain itu, Athifah menebus kostum futsal Resa yang nantinya akan diberikan kepada Resa.
            Dengan perasaan yang bergelora, Athifah berjalan menelusuri lorong-lorong kecil menuju rumah Resa karena ia tak sabar untuk memberikan kejutan kepada Resa mengenai kostum yang dibawanya. Sesampai disana, Athifah bertemu dengan Ibu Resa untuk pertama kalinya, mereka bercengkrama mengenai kondisi Resa. Akhirnya Resa muncul dengan wajah yang kusut seperti baru bangun tidur. Seperti biasanya, Athifah menyapa Resa dengan semangat dan mengajak Resa untuk latihan futsal di lapangan karena pelatih dan timnya telah menunggu Resa. Akan tetapi, respon Resa hanya diam saja dan dia mengatakan tidak mau karena capek. Athifah cukup lama membujuk Resa untuk ikut latihan, padahal Athifah tahu bahwa Resa pun pasti menginginkannya, hanya saja ada sesuatu yang menahan dia yaitu rasa minder yang bergejolak. Athifah tetap berusaha membujuk Resa bahkan Ibunya pun mendukung Athifah. Namun, hasil bujukkan Athifah tidak dapat mengubah pendirian Resa, dia tetap duduk diam dan tak berkutik sedikitpun dari tempat duduknya bahkan wajahnya menunjukkan kekesalan sambil berkata “saya tidak lagi latihan disana”, ungkap Resa yang tak lama dari itu wajahnya berubah menjadi sedih.
            Melihat itu, Athifah memberikan sebuah kantong hitam kecil kepada Resa sambil berkata “ coba Resa lihat dulu, mungkin akan merubah pikiran”. Perlahan-lahan Resa mulai membukanya, tiba-tiba ekspresinya yang sedih berubah menjadi ceria, secerca senyuman kebahagiaan terukir di wajahnya..ya sebuah kostum merah yang bertuliskan Resa dengan nomor 13 telah mengubah suasana di hari itu. Ia berjalan dengan cepat menuju kamar untuk sesegera mungkin mengganti pakaiannya dan tak lupa sepatu olahraga ikut menyelimuti kakinya, tanpa sadar Resa telah melupakan perkataan yang telah diucapkannya.
            Kejadian itu sungguh membuah Athifah terharu, tanpa sadar matanya berbinar menahan air mata yang hampir saja keluar dari peraduannya, bukan karena Resa ingin ikut latihan, tapi karena perubahan ekspresi wajahnya. Ekspresi wajah yang sudah lama di tunggu-tunggu, senyuman yang tulus, dan mata yang berbinar sungguh sangat dirindukan Athifah. Kini wajah yang dulu bagaikan kegelapan tanpa senyuman, mata yang hambar, kata-kata yang ketus dalam sekejap semua sirna tanpa bekas. Ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa menatapnya penuh arti dan sebuah harapan “Resa, raihlah mimpimu dengan apa yang kamu suka, tapi bukan berarti dengan tidak bersekolah”, gumam Athifah dalam hati.
            Athifah dan Resa berjalan menuju lapangan futsal, sesekali Athifah memandang Resa sambil bertanya, “Resa, apa cita-citanya?”. Dengan menampakkan wajah yang begitu  bahagia dan penuh kepercayaan diri, Resa menjawab “ingin jadi pemain futsal terbaik, Bu”.
“wagh bagus itu, jika Resa malas ke sekolah ingatlah kostum yang Resa pakai ya”, tutur Athifah sambil tersenyum. “terima kasih Bu”, jawab Resa. Sebuah perkataan yang tak sangka keluar dari mulut Resa, saat itu terucap dengan sebuah senyuman yang tulus
            Athifah dan Resa melangkah di setiap jalan setapak di antara lorong-lorong kecil yang sekitarnya di kelilingi dinding-dinding rumah penduduk, langkah kami terhenti tepat di sebuah tembok terbuka penghubung rumah penduduk dengan lingkungan Mall Ramayana, tiba-tiba Resa hanya menatap lurus ke depan tanpa bergerak sedikitpun seolah-olah mata dan hatinya memanggil dirinya untuk sesegera mungkin ke lapangan, akan tetapi kakinya seperti tak ingin melangkah. Hingga terdengar suara yang sangat menggelegar dari kejauhan yang memenuhi setiap sudut lapangan, “Itu Resa, ayo cepat kesini”, teriak anak-anak tim bekisar merah. Tampak resa berjalan perlahan-lahan, mungkin menahan malu karena telah lama tak kunjung untuk latihan futsal, tapi dengan semangat teman-temannya yang menyambut Resa dengan hangat, telah membuat Resa untuk kembali percaya diri. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan bagi Resa dan Athifah, pertemuan mereka di akhiri dengan sebuah senyuman kebahagiaan yang ditampakkan Resa ketika berlari-lari mengelilingi lapangan.

Keraguan Awal dari Keyakinan
            Rasa bahagia menyelimuti Athifah, tak henti-hentinya ia tersenyum dan berharap sesegera mungkin waktu cepat berlalu karena Athifah tak sabar lagi ke sekolah untuk melihat Resa yang dapat mengikuti pembelajaran lagi di kelas. Hingga tibalah waktu yang ditunggu setelah melalui 4 hari siswa libur karena kelas 6 Try Out, dengan perasaan yang begitu semangat, Athifah berjalan dengan cepatnya, tanpa sadar ia melupakan kedua temannya yang berada di belakang dirinya.
            Namun, sesaat tiba di kelas, hanya ada tarikkan napas yang cukup dalam seakan-akan sesuatu hal besar telah membuatnya kecewa…. Ya..orang yang ia harapkan tak ada di dalam kelas. Di hari itu, Athifah nampak murung, usaha yang telah ia lakukan, ternyata tidak membuat Resa untuk kembali ke sekolah. “cara apalagi yang harus aku lakukan?”, gumam Athifah. Walau seperti itu, Athifah tetap berusaha untuk membuat Resa kembali ke sekolah, meski terkadang ia harus mengorbankan waktunya untuk menemui Resa.
Sepulang sekolah, Athifah berkunjung lagi ke rumah Resa, untuk kali ini ia pergi sendirian tanpa ditemani anak didiknya yang lain. Sesampai disana, Athifah tidak menemui Resa hanya ada adiknya yang sedang mengasuh adiknya yang kecil.. Athifah mendapat info dari adiknya kalau Resa bermain futsal di lapangan. Dengan sigapnya, Athifah menuju lapangan futsal dan ternyata tidak ada siapapun disana hanya ada tanah kosong tak bertuan. Athifah tetap menelusuri setiap jalan di sekitar rumah penduduk berharap ia bisa bertemu dengan Resa. Ia mencari Resa di antara keramaian Mall Ramayana karena info yang pernah ia dapat, Resa sering bermain disana, tetapi anak itu tetap tidak ada disana. Hingga akhirnya, ia tidak sengaja bertemu dengan Ibunya Resa yang sedang bekerja di mall. Berdasarkan pengakuan Ibunya, Resa tidak ke sekolah karena rambutnya yang belum dipotong.
Mendengar hal itu, membuat Athifah benar-benar frustasi, “padahal sudah libur 4 hari, itu waktu yang cukup lama untuk bisa memotong rambut”, gerutu Athifah dalam hati. Ada perasaan kecewa yang menyelimutinya dan terbesit sebuah keraguan kepada Resa, “apakah yang aku lakukan ini akan berakhir sampai disini!!”, begitulah pemikiran Athifah saat itu. Namun, Athifah tetap mencari Resa meski beberapa kali ia salah masuk lorong. Hal itu tidak membuatnya lelah dibandingkan dengan apa yang dipikirkannya, “aku hanya ingin menuntaskan semua keraguanku atas Resa”, gumam Athifah. Dengan semua usahanya, akhirnya Athifah berhasil bertemu dengan Resa yang sedang bermain bersama teman-temannya di tempat PS.
Athifah cukup lama menunggu Resa karena Resa belum keluar dari ruangannya, “apakah mungkin dia gerah denganku yang selalu menemuinya”, pikir Athifah saat itu. Tak lama dari itu, kehadiran Resa membuat Athifah sangat kaget. Anak yang berada di depannya, kini sedang menggunakan kostum yang pernah Athifah berikan, “apakah begitu bahagianya Resa ketika telah menggunakan kostum tersebut? Aku sangat senang jika Resa bahagia dengan kostumnya, akan tetapi di sisi lain bukan itu yang kuharapkan”, guman Athifah. Ada perasaan kecewa yang menyerang Athifah, ia pun mulai mengatur nafas agar sedikit demi sedikit dapat menghilangkan perasaan seperti itu ketika berbicara dengan Resa.
Pembicaraan Athifah dan Resa cukup lama, meski terkadang ada keheningan di antara mereka. Athifah hanya memastikan alasan Resa tidak sekolah, ternyata jawaban Resa  sama dengan pengakuan Ibunya. Walau seperti itu, Athifah tidak ingin cepat mengambil kesimpulan atas diri Resa, mungkin Resa hanya butuh waktu untuk mulai mengadaptasikan diri terhadap lingkungan sekolah, apalagi ketika di sekolah Resa merasa minder dengan teman-temannya. Athifah hanya menyakini diri, setiap usaha tidak ada yang sia-sia, hingga akhirnya Athifah berkata “Resa, tadi Ibu kesasar mencari Resa karena tidak tahu jalan, tapi Alhamdulillah ada Harnum yang bantu ibu. Tadi Ibu cukup lama berkeliling dari rumah, lapangan futsal, Ramayana dan akhirnya bertemu disini”, tutur Athifah sambil tersenyum. Resa hanya membalas dengan ekspresi diam, tapi sedikit tersenyum. Hal itu membuat Athifah bingung harus mengatakan apa lagi, Athifah takut apa yang dikatakan tidak memotivasinya ke sekolah, Athifah takut apa yang dikatakan tidak di dengarnya. Perasaan seperti itu berkecamuk di dalam hati dan sangat membuat Athifah frustasi. Pada akhirnya, sebuah cerita yang tidak ingin diungkapkan Athifah ke anak didiknya  merupakan solusi terakhir untuk memecahkan keheningan yang membuat sesak sekaligus sebagai penutup pembicataan antara Athifah dan Resa,
 “Resa mau mendengarkan cerita Ibu?”, tanya Athifah,
“Iya Bu”, jawab Resa
“Dulu ketika Ibu masih seusia Resa, Ibu pernah mengalami kondisi yang hampir sama dengan Resa. Ibu pernah ingin berhenti sekolah karena Ibu dulu sering digangguin teman sekelas. Tetapi, meski itu keinginan Ibu, bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah. Lari dari masalah bukan cara terbaik”, ungkap Athifah dengan serius.

Prajurit Penyelamat Kelas
            Keraguan Athifah tidak membuat dia menyerah untuk mengembalikan semangat Resa agar kembali ke sekolah. Athifah tetap memikirkan cara-cara lain sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi Resa karena ia tetap yakin bahwa Resa pasti ingin kembali bersekolah, hingga akhirnya sebuah ide yang muncul ketika perjalanan menuju sekolah magang telah membuka kisah baru. “Resa sudah tidak bersekolah hampir 2 bulan, secara psikologi, ia akan mengalami rasa minder yang bergejolak jika bertemu dengan teman-temannya. Maka dari itu, yang bisa menyelesaikan masalah Resa adalah teman-temannya sendiri”, gumam Athifah.
            Dengan sigapnya, Athifah segera mengumpulkan anak didiknya yang memiliki pengaruh besar di dalam kelas sekaligus yang berhubungan dengan Resa ketika di luar sekolah. Di antara keramaian siswa di sekolah, Athifah meminta Dean, Melgi, Ade, Iqbal, Putri dan Diva untuk kumpul di ruang perpustakaan. Athifah memberikan pengarahan kepada mereka dengan menceritakan kondisi Resa serta menganalogikan kepada mereka jika mereka berada di posisi Resa, ternyata hasilnya sangat luar biasa, mereka menjawab sesuai dengan apa yang Athifah fikirkan yaitu minder.  
“ kalian ini adalah tim prajurit penyelamat kelas, sedangkan ibu adalah komandannya. Jadi untuk misi pertama kalian adalah menyelamatkan Resa agar mau sekolah lagi”, ungkap Athifah sambil bersemangat.
“maksudnya seperti apa Bu?”, tanya Dean
“seperti ini, sering nonton film peperangan??. Nah, kalian diposisikan sebagai prajurit yang akan melaksanakan misi dari komandan. Caranya, kalian kan posisi rumah cukup dekat dengan Resa. Jadi, sebelum menuju ke sekolah, jemput Resa dulu, ok”, tutur Athifah dengan senyuman
“oooo”, jawab prajurit penyelamat kelas secara serentak
Athifah begitu bahagia karena rencana yang mendadak telah menuai tanggapan yang baik, “semoga ini solusi terakhir untuk menyelamatkan Resa.”, gumam Athifah dalam hati.
            Seperti biasanya, Athifah berjalan di antara keramaian pasar hendak menuju sekolah, sesekali ia tetap memikirkan Resa, “apakah hari ini ia bersekolah?”, gumam Athifah. Pintu gerbang di depan sekolah telah terbuka dengan lebar seolah-olah menyambut Athifah dengan semangatnya, tak lupa anak-anak yang berlari-lari kecil sembari mendekati Athifah hanya untuk memberi salam kepadanya. Sungguh indah pemandangan di pagi hari, ditemani cerahnya sinar matahari dan gemerlap candaan anak-anak didiknya telah membuat suasana di hari itu lebih bermakna. Sambil menunggu Pembina pramuka, Athifah mengajak anak didiknya untuk bermain bersama di lapangan, tetapi ada 2 siswa yang biasanya datang lebih awal, di hari itu mereka belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Tak lama dari itu, terdengar suara dari kejauhan di dekat pagar, “Ibu, ini Resa” jerit Dean dan Melgi sambil menarik Resa untuk masuk ke sekolah. Melihat itu, sebuah senyuman terukir di wajah Athifah, “hari ini ada dua kebahagiaan terbesar yang ku terima; pertama Resa sudah kembali ke sekolah dan kedua Dean & Melgi telah menjalankan tugasnya sebagai prajurit penyelamat kelas, apalagi  Dean dan Melgi telah membuat diri mereka datang terlambat ke sekolah, bukan karena mereka malas tetapi karena menjemput Resa di rumah, sungguh perbuatan yang sangat luar biasa ”, gumam Athifah.. “Pada dasarnya semua anak itu baik, hanya saja yang membedakan mereka adalah bagaimana lingkungan yang mendidik mereka. Jika anak di arahkan menuju kebaikkan, maka anak itu pun akan berjalan dalam kebaikan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar