Keringat yang menetes tak
menghalangi terkembang sebuah senyuman dari bibirnya menuju sekolah tempat ia
magang. Meski, kerap kali ia harus berjalan menerobos keramaian pasar dan
mendengar hiruk pikuk kendaraan desa yang mondar mandir di jalanan pinggiran
kota, ternyata tak membuatnya lelah untuk mengabdi kepada negara.
Athifah
adalah sesosok guru magang di sebuah desa yang terletak di kecamatan parung,
kabupaten Bogor, ia telah berjanji akan mendedikasikan hidupnya selama 1, 5
tahun ke depan untuk menjadi seorang “guru transformatife” yang merupakan salah
satu binaan dari Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Usianya yang masih muda
yaitu 23 tahun tak membuatnya mudah terpengaruh oleh dunia modernisasi saat ini
yang mana sering kali terlihat anak muda sibuk dengan pemenuhan kebutuhan
hidupnya sendiri dan tak jarang juga anak muda lebih memilih zona nyaman
ketimbang zona tantangan yang dipilih oleh Athifah.
Bagi
Athifah, ia memilih untuk hidup bagaikan pohon bakau, daunnya yang rimbun dan
rindang telah melindungi sebagian bumi dari panasnya sinar ultraviolet yang
dipancarkan matahari, batang dan akarnya yang kuatpun sebagai perlindungan
untuk makhluk-makhluk kecil yang berada di bawahnya. Hal itulah yang menyakini
Athifah bahwa untuk menjadi sesosok guru itu tidak hanya mengajar, melainkan
mendidik, memimpin, menginspirasi, dan melindungi anak didiknya dari kejamnya
dunia.
Perjalananannya
dimulai ketika pertama kali ia mendapatkan tugas magang di SD X
selama 3 bulan. Di sekolah itu, ia difokuskan untuk mengajar anak kelas V.A
yang jumlahnya 46 siswa. Baginya dengan jumlah anak didik sebanyak itu
merupakan tantangan besar karena ia harus mampu memutar otaknya agar
pembelajaran yang diberikan dapat diterima oleh semua anak. Akan tetapi, di
antara keramaian anak, ada satu anak yang bernama Resa tak pernah kunjung ada
di kelas, 3 hari Athifah sudah berada disana, anak itu tetap tidak pernah
memunculkan dirinya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari informasi
tentang anak itu.
Bermula
dari rasa penasarannya tingkat tinggi dengan berbagai alasan yang ia dengar
bahwa Resa tidak masuk sekolah hampir 2 bulan karena “malas”, sebuah alasan
yang tidak masuk akal untuk seorang anak seusia itu. Meski seperti itu,
sebelumnya pihak sekolah sudah berusaha untuk membuat Resa agar kembali ke
sekolah dengan cara visit home dan
memberikan bantuan berupa buku, sepatu, serta pakaian sebagai alat penunjang
Resa untuk kembali belajar. Akan tetapi, hal itu hanya bertahan sebentar, Resa
memang kembali ke sekolah, namun tak lama dari itu dia tak pernah lagi datang ke
sekolah.
Kilas
balik, Resa adalah satu-satunya anak laki-laki dari keluarga yang ekonominya
rendah dengan Ibunya bekerja sebagai OB di Mall. Ibunya seorang diri harus
menafkahkan ke empat anaknya yang masih duduk di sekolah sedangkan Ayahnya
pergi meninggalkan mereka. Resa tinggal di sebuah rumah yang cukup kecil untuk
dihuni 10 orang, yang mana itu rumah terdiri dari 2 keluarga besar yaitu
keluarga Resa yang terdiri dari 5 orang dan keluarga uwaknya yang terdiri dari
5 orang juga. Selain itu, secara akademik, “Resa tergolong anak yang pintar”,
tutur salah satu temannya. Hal itu telah Athifah buktikan ketika bertanya mengenai perkalian menggunakan 2 angka dan hasilnya sangat memuaskan, Resa cukup cepat menghitung tanpa harus mengorek di lembar kertas.
Begitulah mirisnya kehidupan anak seusia itu yang seharusnya dapat
menikmati hari-harinya dengan bermain, belajar, mendapatkan kasih sayang dari
orang tuanya dan juga mendapatkan kepercayaan dari orang-orang sekitarnya, tetapi dia lebih memilih
untuk tidak ingin ke sekolah dalam jangka waktu yang cukup lama.
Walaupun
seperti itu, bukanlah hambatan bagi Athifah yang tetap berusaha untuk membuat
Resa kembali ke sekolah. Athifah hanya menyakini bahwa semua anak pasti ingin
sekolah yaitu bermain dan belajar bersama teman-temannya, hanya saja yang
membedakan mereka di tempatkan dalam kondisi yang tidak beruntung.
Kunjungan
pertama adalah kesan terbaik
Athifah
berjalan menelusuri lorong-lorong kecil di antara padatnya rumah penduduk, tak
lupa ia diiringi oleh anak didiknya yang juga ikut serta untuk menjenguk Resa.
Sesampai di rumah Resa, ia hanya melihat sesosok Ibu tampak cukup tua yang
merupakan Uwaknya Resa dan beliau menyambut Athifah sangat ramah. Dengan
perasaan deg-degan, Athifah tak sabar ingin melihat Resa, anak yang telah
dinantikannya sejak lama untuk hadir di kelas dan dapat mengikuti kembali pembelajaran
seperti biasanya. Namun ternyata, Resa tak kunjung keluar dari kamarnya,
berkali-kali Uwaknya memanggil Resa hanya ada balasan sahutan “Ya”, tanpa ada
kemunculan wajahnya. Athifah pun khawatir, “apakah mungkin dia tidak ingin
bertemu denganku?”, gumam Athifah saat itu. Selang beberapa menit, terdengar
suara kaki yang berjalan dari ujung kamar, Athifah memandangnya tanpa ada
satupun yang terlewatkan, “akhirnya Resa keluar juga”, tutur Athifah dalam
hati. Perasaan bahagia begitu terlihat dari senyumnya Athifah, akan tetapi
sesaat senyum itu memudar, Resa yang dia pandang hanya berjalan dengan
menundukkan wajah, sesekali dia menengok ke depan dengan sorotan mata yang
hambar, kosong dan tampak anak yang tidak memiliki tujuan. Selain itu, tubuhnya
yang kecil dengan rambutnya yang dipotong ala “anak mohack” serta wajahnya yang manis, tak menampakkan sebuah senyuman
sedikitpun, hanya ada wajah datar tanpa ekspresi.
“Assalammu’alaikum Resa, apa kabarnya?”, tanya
Athifah
“Baik Bu!!”, jawab resa sambil wajah menunduk
“wajahnya
menghadap ibu ya, seperti Ibu mau makan Resa saja”, ucap Athifah sambil
tersenyum bercanda.
Resa
pun memandang wajah Athifah, meski sekali-kali wajahnya tetap menunduk, tapi
jika dilihat nampak sekilas terukir sebuah senyuman tipis yang menandakan dia
ingin tertawa. Suasana yang tadinya tegang kini sedikit nyaman, Athifah mulai
masuk ke pembicaraan inti, hanya saja pembicaraan ini cukup aneh untuk di
dengar bagi Resa. Pembicaraan yang tadinya mungkin difikir Resa membahas
tentang dirinya yang tidak pernah masuk sekolah, berubah menjadi pembicaraan
yang menanyakan tentang aktivitas Resa selama tidak sekolah. Pembicaraan
tersebut menuai hasil yang baik, Resa mulai sedikit membuka dirinya dengan
menceritakan kalau dia setiap harinya bermain futsal di lapangan belakang mall dengan teman-temannya dan ternyata itu teman adalah anak-anak yang
sudah putus sekolah. Hingga akhirnya sebuah kalimat terucap dari mulutnya
Athifah, “ouw,,jadi Resa sering bermain dengan mereka ya, kalau gitu kapan-kapan
Ibu boleh ikut bermain ya?”, tanya
Athifah sambil tersenyum. Tidak ada jawaban sama sekali, hanya ada anggukkan
kepala Resa sambil tersenyum tipis.
Meskipun
seperti itu, bukanlah akhir dari segalanya karena bagi Athifah kunjungan
pertama hari ini sudah cukup mewakili indikator tujuan yang ingin dicapai yaitu
berkenalan dengan Resa dan mengetahui dunianya selama tidak masuk sekolah.
Kunjungan ini diakhiri dengan kalimat, “Ibu kesini tidak ingin memaksa Resa
untuk sekolah, akan tetapi yang ibu inginkan adalah Resa datang ke sekolah
karena kemauan Resa sendiri. Maka dari itu, besok Ibu tunggu di sekolah dan
kita bermain bersama”, tutur Athifah sambil tersenyum.
Ambil
hatinya melalui hobbynya
Sabtu, 28
Februari 2014 adalah hari yang ditunggu, seperti biasanya untuk menuju sekolah
magang Athifah harus berjalan sekitar 10 menit, meski kerap kali tetesan keringat
bercucuran dari wajahnya, ternyata hal itu tak membuatnya lelah, tetapi
membuatnya semakin semangat karena di hari ini ia berharap bisa bertemu lagi
dengan Resa. Sesampai di sekolah, mata Athifah tak hentinya mencari sosok Resa,
tapi ternyata sosok itu tak pernah ada, hingga akhirnya Athifah pasrah dan
melupakan apa yang menjadi harapannya di hari ini, tersirat rasa kekecewaan
menyelimutinya di saat itu, semangatnya yang tadi berkobar kini mulai memudar
dan wajahnya yang penuh dengan senyuman sedikit mulai redup.
Sesaat waktu berlalu, di antara
lamunan Athifah sambil membantu anak-anak untuk persiapan pramuka, tiba-tiba
terdengar jeritan salah satu anak didiknya “Ibu. Resanya datang”. Mendengar hal
itu, membuat Athifah seperti mendapatkan sesuatu yang sangat luar biasa, perasaannya
sangat bergejolak antara bahagia tetapi terharu hingga saat Resa sudah di depan
matanya dan mulai mengulurkan tangannya untuk salam, Athifah tak mampu
berbicara apapun, yang ada hanya tatapan penuh arti sambil menerima salam
hangat dari Resa.
Anak-anak kelas 4 dan 5 mulai
membuat barisan berbentuk lingkaran di lapangan belakang mall sesuai dengan
intruksi dari pembina pramuka, Athifah hanya membantu untuk mentertibkan
anak-anak dan sesekali sambil memfotoi setiap aktivitas mereka, tiba-tiba mata
Athifah terhenti ketika melihat Resa yang berbaris bersama anak kelas 4, bahkan
ketika mengerjakan tugas pramuka berkelompok, Resa juga bersama anak kelas 4.
Kejadian ini menyakini Athifah bahwa Resa mulai menarik diri dari lingkungan
teman sekelasnya, “ini tidak baik bagi Resa, apa yang harus dilakukan?”, gumam
Athifah. Dengan berfikir cepat, Athifah meminta beberapa teman sekelasnya untuk
mengajak Resa bermain bersama dan hal itu ditanggapi dengan baik oleh
teman-temannya.
Sepulang dari sekolah, anak-anak
mengajak Athifah untuk bermain futsal di hidroponik, tempat yang tak pernah
Athifah kunjungi sama sekali. Mendapat tawaran itu, membuat Athifah sangat
senang karena ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mengetahui karakter
anak didiknya ketika di luar sekolah, tetapi sebelum itu ia harus ke sekolah
terlebih dahulu untuk mengurusi kerjaannya yang belum selesai.
Terdengar suara ketika Athifah
berjalan menuju sekolah, “Ibu, katanya mau bermain bersama?”, tutur Resa. Anak
yang dari tadi hanya diam saja, ternyata menagih janji Athifah kepadanya ketika
berkunjung kerumahnya. “tentu, Ibu akan main, nanti Ibu nyusul kesana ditemani
Dean”, jawab Athifah sambil tersenyum. Athifah tidak menyangka, ternyata Resa
masih mengingat pembicaraan kemarin, ini berarti semua yang dikatakan Athifah
di dengar oleh Resa, “langkah awal yang bagus”, gumam Athifah
Athifah dan Dean berjalan bersama menuju
Hidroponik, sesekali Athifah bertanya mengenai jalan yang mereka telusuri dan
Dean pun menjelaskannya dengan sempurna. Athifah juga bertanya tentang pendapat
Dean mengenai Resa, alhasil Athifah mendapatkan informasi yang tak disangka
yaitu Resa adalah pemain futsal terbaik nomor 2 di Tim Bekisar Merah. Tim
Bekisar Merah merupakan tim futsal yang dibentuk dari gabungan siswa SD X
dan SD Y yang rumahnya tinggal dalam lingkungan RT yang sama. Dalam hal
ini, ada 3 anak didik Athifah yang tergabung di tim tersebut yaitu Melgi, Dean
dan Resa. Tim ini sudah beberapa kali memenangkan pertandingan antar RT,
sehingga namanya cukup terkenal di kalangan siswa. Akan tetapi, sudah beberapa
bulan ini tim bekisar merah kehilangan sesosok pemain yang handal yaitu Resa.
Menurut
Dean, “Resa sudah tidak ikut latihan lagi karena dia tidak mempunyai pakaian
ini (sambil menunjukkan kostum yang dipakainya), padahal pelatih tidak terlalu
memaksa untuk menggunakannya jika belum punya uang”, tutur Dean
“berapa
harga pakaiannya?”, tanya Athifah
“85
ribu Bu, tapi Resa sudah bayar 5 ribu”, jawab Dean
“oklah,
kapan kalian latihan lagi?”, tanya Athifah dengan penuh penasaran
“besok
Bu, minggu pagi biasanya jam 7 di lapangan belakang mall”. Jawab Dean
“ouw,
besok pagi kita bertemu lagi ya”, tutur Athifah sambil tersenyum
Percakapan Athifah dan Dean terhenti
seketika karena mereka sudah sampai di Hidroponik, tempat yang sangat indah, di
dalamnya banyak sekali tanaman sayur yang dibudidayakan melalui hidroponik,
tidak hanya itu tanaman hias pun ada seperti anggrek dan di depannya terdapat
lapangan futsal beserta masjid. Disinilah tempat Athifah dan anak didiknya
mulai ada kedekatan hati, Athifah mengamati setiap aktivitas yang dilakukan
anak didiknya ketika bermain futsal, sungguh terlihat kebahagiaan yang tersirat
di wajah mereka, tampak sekali mereka sangat bebas dalam berkreativitas. “Hari
ini aku tidak hanya mengambil hati Resa, tetapi aku juga mengambil hati semua
anak didikku”, gumam Athifah sambil tersenyum dengan senang.
Tim
Bekisar Merah
Dengan langkah yang cepat, sesegera
mungkin Athifah pergi menuju lapangan belakang mall pukul 7 pagi.
Perjalanan kesana hanya naik angkot sekali dan berjalan 10 menit. Sesampainya,
Athifah tak menemukan siapapun hanya ada lapangan kosong nan sepi. Athifah
kebingungan, hingga ia memutar kesana kemari di sekitar rumah penduduk, entah
apa yang dipikirkan penduduk disaat itu, yang terpenting baginya memastikan
apakah hari ini ada anak-anak yang latihan futsal. Akhirnya di ujung lorong
rumah penduduk, terdapat sekumpulan anak-anak yang menggunakan kostum berwarna
merah bersepatu olahraga sedang bersiap-siap menuju lapangan futsal. Hal itu
membuat Athifah sangat senang karena hari ini tidak ada yang sia-sia.
Athifah menemui pelatih tim bekisar
merah yang bernama Handoiy. yang sebelumnya telah dimediasi oleh Melgi dan Dean.
Pertemuan tersebut hanya sebentar, Athifah menanyakan beberapa pertanyaan
tentang Resa selama di tim, ternyata info yang di dapat Athifah akurat dengan
apa yang diceritakan Handoiy. Sehingga, Athifah meminta bantuan Handoiy untuk
juga mengsupport Resa agar dapat bersekolah kembali. Selain itu, Athifah
menebus kostum futsal Resa yang nantinya akan diberikan kepada Resa.
Dengan perasaan yang bergelora,
Athifah berjalan menelusuri lorong-lorong kecil menuju rumah Resa karena ia tak
sabar untuk memberikan kejutan kepada Resa mengenai kostum yang dibawanya.
Sesampai disana, Athifah bertemu dengan Ibu Resa untuk pertama kalinya, mereka
bercengkrama mengenai kondisi Resa. Akhirnya Resa muncul dengan wajah yang
kusut seperti baru bangun tidur. Seperti biasanya, Athifah menyapa Resa dengan
semangat dan mengajak Resa untuk latihan futsal di lapangan karena pelatih dan
timnya telah menunggu Resa. Akan tetapi, respon Resa hanya diam saja dan dia
mengatakan tidak mau karena capek. Athifah cukup lama membujuk Resa untuk ikut
latihan, padahal Athifah tahu bahwa Resa pun pasti menginginkannya, hanya saja
ada sesuatu yang menahan dia yaitu rasa minder yang bergejolak. Athifah tetap berusaha
membujuk Resa bahkan Ibunya pun mendukung Athifah. Namun, hasil bujukkan
Athifah tidak dapat mengubah pendirian Resa, dia tetap duduk diam dan tak
berkutik sedikitpun dari tempat duduknya bahkan wajahnya menunjukkan kekesalan
sambil berkata “saya tidak lagi latihan disana”, ungkap Resa yang tak lama dari
itu wajahnya berubah menjadi sedih.
Melihat itu, Athifah memberikan
sebuah kantong hitam kecil kepada Resa sambil berkata “ coba Resa lihat dulu,
mungkin akan merubah pikiran”. Perlahan-lahan Resa mulai membukanya, tiba-tiba
ekspresinya yang sedih berubah menjadi ceria, secerca senyuman kebahagiaan
terukir di wajahnya..ya sebuah kostum merah yang bertuliskan Resa dengan nomor
13 telah mengubah suasana di hari itu. Ia berjalan dengan cepat menuju kamar untuk
sesegera mungkin mengganti pakaiannya dan tak lupa sepatu olahraga ikut menyelimuti
kakinya, tanpa sadar Resa telah melupakan perkataan yang telah diucapkannya.
Kejadian itu sungguh membuah Athifah
terharu, tanpa sadar matanya berbinar menahan air mata yang hampir saja keluar
dari peraduannya, bukan karena Resa ingin ikut latihan, tapi karena perubahan
ekspresi wajahnya. Ekspresi wajah yang sudah lama di tunggu-tunggu, senyuman
yang tulus, dan mata yang berbinar sungguh sangat dirindukan Athifah. Kini wajah
yang dulu bagaikan kegelapan tanpa senyuman, mata yang hambar, kata-kata yang
ketus dalam sekejap semua sirna tanpa bekas. Ini adalah kebahagiaan yang tidak
bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa menatapnya penuh arti dan sebuah
harapan “Resa, raihlah mimpimu dengan apa yang kamu suka, tapi bukan berarti
dengan tidak bersekolah”, gumam Athifah dalam hati.
Athifah dan Resa berjalan menuju
lapangan futsal, sesekali Athifah memandang Resa sambil bertanya, “Resa, apa
cita-citanya?”. Dengan menampakkan wajah yang begitu bahagia dan penuh kepercayaan diri, Resa
menjawab “ingin jadi pemain futsal terbaik, Bu”.
“wagh
bagus itu, jika Resa malas ke sekolah ingatlah kostum yang Resa pakai ya”,
tutur Athifah sambil tersenyum. “terima kasih Bu”, jawab Resa. Sebuah perkataan
yang tak sangka keluar dari mulut Resa, saat itu terucap dengan sebuah senyuman
yang tulus
Athifah dan Resa melangkah di setiap
jalan setapak di antara lorong-lorong kecil yang sekitarnya di kelilingi
dinding-dinding rumah penduduk, langkah kami terhenti tepat di sebuah tembok
terbuka penghubung rumah penduduk dengan lingkungan Mall Ramayana, tiba-tiba Resa
hanya menatap lurus ke depan tanpa bergerak sedikitpun seolah-olah mata dan
hatinya memanggil dirinya untuk sesegera mungkin ke lapangan, akan tetapi kakinya
seperti tak ingin melangkah. Hingga terdengar suara yang sangat menggelegar
dari kejauhan yang memenuhi setiap sudut lapangan, “Itu Resa, ayo cepat
kesini”, teriak anak-anak tim bekisar merah. Tampak resa berjalan
perlahan-lahan, mungkin menahan malu karena telah lama tak kunjung untuk
latihan futsal, tapi dengan semangat teman-temannya yang menyambut Resa dengan
hangat, telah membuat Resa untuk kembali percaya diri. Hari itu adalah hari
yang paling membahagiakan bagi Resa dan Athifah, pertemuan mereka di akhiri
dengan sebuah senyuman kebahagiaan yang ditampakkan Resa ketika berlari-lari
mengelilingi lapangan.
Keraguan
Awal dari Keyakinan
Rasa bahagia menyelimuti Athifah,
tak henti-hentinya ia tersenyum dan berharap sesegera mungkin waktu cepat
berlalu karena Athifah tak sabar lagi ke sekolah untuk melihat Resa yang dapat
mengikuti pembelajaran lagi di kelas. Hingga tibalah waktu yang ditunggu
setelah melalui 4 hari siswa libur karena kelas 6 Try Out, dengan perasaan yang
begitu semangat, Athifah berjalan dengan cepatnya, tanpa sadar ia melupakan
kedua temannya yang berada di belakang dirinya.
Namun, sesaat tiba di kelas, hanya
ada tarikkan napas yang cukup dalam seakan-akan sesuatu hal besar telah
membuatnya kecewa…. Ya..orang yang ia harapkan tak ada di dalam kelas. Di hari
itu, Athifah nampak murung, usaha yang telah ia lakukan, ternyata tidak membuat
Resa untuk kembali ke sekolah. “cara apalagi yang harus aku lakukan?”, gumam
Athifah. Walau seperti itu, Athifah tetap berusaha untuk membuat Resa kembali
ke sekolah, meski terkadang ia harus mengorbankan waktunya untuk menemui Resa.
Sepulang
sekolah, Athifah berkunjung lagi ke rumah Resa, untuk kali ini ia pergi
sendirian tanpa ditemani anak didiknya yang lain. Sesampai disana, Athifah
tidak menemui Resa hanya ada adiknya yang sedang mengasuh adiknya yang kecil..
Athifah mendapat info dari adiknya kalau Resa bermain futsal di lapangan.
Dengan sigapnya, Athifah menuju lapangan futsal dan ternyata tidak ada siapapun
disana hanya ada tanah kosong tak bertuan. Athifah tetap menelusuri setiap
jalan di sekitar rumah penduduk berharap ia bisa bertemu dengan Resa. Ia
mencari Resa di antara keramaian Mall Ramayana karena info yang pernah ia
dapat, Resa sering bermain disana, tetapi anak itu tetap tidak ada disana. Hingga akhirnya, ia tidak sengaja
bertemu dengan Ibunya Resa yang sedang bekerja di mall. Berdasarkan
pengakuan Ibunya, Resa tidak ke sekolah karena rambutnya yang belum dipotong.
Mendengar
hal itu, membuat Athifah benar-benar frustasi, “padahal sudah libur 4 hari, itu
waktu yang cukup lama untuk bisa memotong rambut”, gerutu Athifah dalam hati.
Ada perasaan kecewa yang menyelimutinya dan terbesit sebuah keraguan kepada
Resa, “apakah yang aku lakukan ini akan berakhir sampai disini!!”, begitulah
pemikiran Athifah saat itu. Namun, Athifah tetap mencari Resa meski beberapa
kali ia salah masuk lorong. Hal itu tidak membuatnya lelah dibandingkan dengan
apa yang dipikirkannya, “aku hanya ingin menuntaskan semua keraguanku atas
Resa”, gumam Athifah. Dengan semua usahanya, akhirnya Athifah berhasil bertemu
dengan Resa yang sedang bermain bersama teman-temannya di tempat PS.
Athifah
cukup lama menunggu Resa karena Resa belum keluar dari ruangannya, “apakah
mungkin dia gerah denganku yang selalu menemuinya”, pikir Athifah saat itu. Tak
lama dari itu, kehadiran Resa membuat Athifah sangat kaget. Anak yang berada di
depannya, kini sedang menggunakan kostum yang pernah Athifah berikan, “apakah
begitu bahagianya Resa ketika telah menggunakan kostum tersebut? Aku sangat
senang jika Resa bahagia dengan kostumnya, akan tetapi di sisi lain bukan itu
yang kuharapkan”, guman Athifah. Ada perasaan kecewa yang menyerang Athifah, ia
pun mulai mengatur nafas agar sedikit demi sedikit dapat menghilangkan perasaan
seperti itu ketika berbicara dengan Resa.
Pembicaraan
Athifah dan Resa cukup lama, meski terkadang ada keheningan di antara mereka.
Athifah hanya memastikan alasan Resa tidak sekolah, ternyata jawaban Resa sama dengan pengakuan Ibunya. Walau seperti
itu, Athifah tidak ingin cepat mengambil kesimpulan atas diri Resa, mungkin
Resa hanya butuh waktu untuk mulai mengadaptasikan diri terhadap lingkungan
sekolah, apalagi ketika di sekolah Resa merasa minder dengan teman-temannya.
Athifah hanya menyakini diri, setiap usaha tidak ada yang sia-sia, hingga
akhirnya Athifah berkata “Resa, tadi Ibu kesasar mencari Resa karena tidak tahu
jalan, tapi Alhamdulillah ada Harnum yang bantu ibu. Tadi Ibu cukup lama
berkeliling dari rumah, lapangan futsal, Ramayana dan akhirnya bertemu disini”,
tutur Athifah sambil tersenyum. Resa hanya membalas dengan ekspresi diam, tapi
sedikit tersenyum. Hal itu membuat Athifah bingung harus mengatakan apa lagi,
Athifah takut apa yang dikatakan tidak memotivasinya ke sekolah, Athifah takut
apa yang dikatakan tidak di dengarnya. Perasaan seperti itu berkecamuk di dalam
hati dan sangat membuat Athifah frustasi. Pada akhirnya, sebuah cerita yang
tidak ingin diungkapkan Athifah ke anak didiknya merupakan solusi terakhir untuk memecahkan
keheningan yang membuat sesak sekaligus sebagai penutup pembicataan antara
Athifah dan Resa,
“Resa mau
mendengarkan cerita Ibu?”, tanya Athifah,
“Iya Bu”, jawab Resa
“Dulu
ketika Ibu masih seusia Resa, Ibu pernah mengalami kondisi yang hampir sama
dengan Resa. Ibu pernah ingin berhenti sekolah karena Ibu dulu sering
digangguin teman sekelas. Tetapi, meski itu keinginan Ibu, bukanlah cara untuk
menyelesaikan masalah. Lari dari masalah bukan cara terbaik”, ungkap Athifah
dengan serius.
Prajurit
Penyelamat Kelas
Keraguan Athifah tidak membuat dia
menyerah untuk mengembalikan semangat Resa agar kembali ke sekolah. Athifah
tetap memikirkan cara-cara lain sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi
Resa karena ia tetap yakin bahwa Resa pasti ingin kembali bersekolah, hingga akhirnya
sebuah ide yang muncul ketika perjalanan menuju sekolah magang telah membuka kisah
baru. “Resa sudah tidak bersekolah hampir 2 bulan, secara psikologi, ia akan
mengalami rasa minder yang bergejolak jika bertemu dengan teman-temannya. Maka
dari itu, yang bisa menyelesaikan masalah Resa adalah teman-temannya sendiri”,
gumam Athifah.
Dengan sigapnya, Athifah segera
mengumpulkan anak didiknya yang memiliki pengaruh besar di dalam kelas sekaligus
yang berhubungan dengan Resa ketika di luar sekolah. Di antara keramaian siswa
di sekolah, Athifah meminta Dean, Melgi, Ade, Iqbal, Putri dan Diva untuk
kumpul di ruang perpustakaan. Athifah memberikan pengarahan kepada mereka
dengan menceritakan kondisi Resa serta menganalogikan kepada mereka jika mereka
berada di posisi Resa, ternyata hasilnya sangat luar biasa, mereka menjawab
sesuai dengan apa yang Athifah fikirkan yaitu minder.
“
kalian ini adalah tim prajurit penyelamat kelas, sedangkan ibu adalah
komandannya. Jadi untuk misi pertama kalian adalah menyelamatkan Resa agar mau
sekolah lagi”, ungkap Athifah sambil bersemangat.
“maksudnya
seperti apa Bu?”, tanya Dean
“seperti
ini, sering nonton film peperangan??. Nah, kalian diposisikan sebagai prajurit
yang akan melaksanakan misi dari komandan. Caranya, kalian kan posisi rumah
cukup dekat dengan Resa. Jadi, sebelum menuju ke sekolah, jemput Resa dulu, ok”,
tutur Athifah dengan senyuman
“oooo”,
jawab prajurit penyelamat kelas secara serentak
Athifah
begitu bahagia karena rencana yang mendadak telah menuai tanggapan yang baik, “semoga
ini solusi terakhir untuk menyelamatkan Resa.”, gumam Athifah dalam hati.
Seperti biasanya, Athifah berjalan
di antara keramaian pasar hendak menuju sekolah, sesekali ia tetap memikirkan
Resa, “apakah hari ini ia bersekolah?”, gumam Athifah. Pintu gerbang di depan sekolah
telah terbuka dengan lebar seolah-olah menyambut Athifah dengan semangatnya,
tak lupa anak-anak yang berlari-lari kecil sembari mendekati Athifah hanya
untuk memberi salam kepadanya. Sungguh indah pemandangan di pagi hari, ditemani
cerahnya sinar matahari dan gemerlap candaan anak-anak didiknya telah membuat
suasana di hari itu lebih bermakna. Sambil menunggu Pembina pramuka, Athifah
mengajak anak didiknya untuk bermain bersama di lapangan, tetapi ada 2 siswa
yang biasanya datang lebih awal, di hari itu mereka belum menunjukkan batang
hidungnya sama sekali. Tak lama dari itu, terdengar suara dari kejauhan di
dekat pagar, “Ibu, ini Resa” jerit Dean dan Melgi sambil menarik Resa untuk
masuk ke sekolah. Melihat itu, sebuah senyuman terukir di wajah Athifah, “hari
ini ada dua kebahagiaan terbesar yang ku terima; pertama Resa sudah kembali ke
sekolah dan kedua Dean & Melgi telah menjalankan tugasnya sebagai prajurit
penyelamat kelas, apalagi Dean dan Melgi telah membuat diri mereka datang
terlambat ke sekolah, bukan karena mereka malas tetapi karena menjemput Resa di
rumah, sungguh perbuatan yang sangat luar biasa ”, gumam Athifah.. “Pada dasarnya semua anak itu
baik, hanya saja yang membedakan mereka adalah bagaimana lingkungan yang
mendidik mereka. Jika anak di arahkan menuju kebaikkan, maka anak itu pun akan
berjalan dalam kebaikan”